Adanya perlindungan dan persamaan di muka hukum bagi warga negara adalah suatu kewajiban bagi setiap negara hukum tak terkecuali di Indonesia. Baik warga mampu atau tidak mampu sudah seharusnya mendapat bantuan hukum secara sama. Namun sayang dalam prakteknya masalah bantuan hukum bagi kaum miskin masih sulit untuk diakses. Baik lembaga bantuan hukum hingga advokat sering meminta fee (upah) ketika diminta membela kaum miskin. pencarian keadilan menjadi wacana kosong karena keadilan hanya menjadi persoalan siapa yang punya uang dan jabatan. permasalahan bantuan hukum sebenarnya bukanlah wacana baru. Pada masa lampau konsep bantuan hukum adalah tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam pasal 250 HIR (Het Herziene Inlands Reglement). Menurut pasal ini, advokat diminta bantuan hukumnya apabila ada permintaan dari orang yang dituduh serta diancam dengan hukuman mati. Proses bantuan hukum seperti inipun sangat terbatas karena hanya dipakai ketika dalam proses pengadilan maupun di luar pengadilan seperti proses penyidikan, penyelidikan serta pembelaan di depan pengadilan . Namun seiring berjalannya waktu masalah yang berkaitan dengan pembelaan bagi perubahan undang undang yang memarjinalkan kaum miskin, pembelaan bagi perubahan kebijakan pemerintah yang merugikan secara ekonomi, sosial,politik hingga budaya (baca: pemiskinan struktural) menjadi wacana baru bagi para pembela hukum. Kesadaran dari beberapa advokat tentang pentingnya pencarian keadilan secara struktur mengilhami konsep bantuan hukum struktural untuk membela kaum yang lemah serta tertindas.