Perhatikan mereka yang akan
mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat tahun depan, baik di lembaga eksekutif
maupun legislatif. Para calon pejabat itu tampak sangat ingin menarik perhatian
generasi milenial lewat materi kampanye yang dipasang di ruang publik baik
secara tersirat maupun terang-terangan. Tidak heran generasi milenial adalah
calon pemilih terbesar di Pemilu yang akan datang.
Fenomena kampanye ala generasi
milenial tersebut ditunjukkan dengan melihat materi kampanye calon maupun
politisi petahana mulai dari gaya pakaian, gaya hidup hingga slogan di baliho
yang secara terbuka mengatakan bahwa mereka akan memperjuangkan aspirasi
generasi milenial.
Jokowi yang mengendarai motor
Chopper atau Sandiaga yang kerap menggunakan bahasa gaul dalam kunjungannya
adalah dua dari banyak contoh calon politisi yang akan memperebutkan suara
generasi milenial di tahun depan. Kata milenial sudah menjadi kata ganti rakyat
yang segar dan menjual!
Generasi milenial sendiri
didefinisikan dalam banyak pengertian. Namun sebagian besar sepakat generasi
milenial adalah mereka yang lahir dalam kurun waktu 1981-1996 dengan
bermacam-macam predikat yang melekat pada diri mereka, seperti generasi yang
akrab dengan teknologi terutama akses internet, generasi yang sangat mementingkan
diri sendiri dan cenderung pragmatis serta narsis dalam urusan politik.
Selain disebut sebagai generasi
yang beruntung karena terbukanya akses pengetahuan yang dimiliki, namun
generasi ini juga mempunyai problemnya sendiri. Generasi ini sering diramalkan
dalam berbagai penelitian sebagai generasi yang tidak akan mampu beli rumah di
masa depan, suka berpindah pekerjaan dan hanya fokus pada pribadinya
masing-masing.
Namun jika kita melihat lebih
jauh tentang generasi milenial maka generasi ini bukanlah generasi yang
tiba-tiba jatuh dari langit. Generasi milenial adalah generasi yang lahir di
tengah masyarakat dengan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya generasi
milenial bukanlah generasi yang lahir di ruang hampa namun sebuah generasi yang
tidak dapat terlepas dari struktur masyarakatnya.
Dengan menempatkan generasi
milenial sebagai bagian dari struktur masyarakat, kita tidak bisa melihat bahwa
problem generasi milenial sebagai masalah individu-individu belaka sebagaimana
selama ini diwacanakan oleh berbagai media dan lembaga penelitian. Kita harus
bisa menempatkan bahwa problem generasi milenial sebagai problem masyarakat
secara umum (baca : masyarakat kapitalisme).
Kita ambil contoh tentang masalah
ketidakmampuan generasi milenial membeli rumah. Permasalahan ini harus kita
lihat kondisi ekonomi politik yang melekat struktur ekonomi dan sosial
masyarakat saat ini dengan pertanyaan kritis sebagai berikut : Apakah generasi
milenial dapat mengakses pendidikan tinggi sebagaimana generasi sebelumnya?
Jika jawabannya adalah ya apakah biaya pendidikan tinggi masih masuk akal
dengan adanya pencabutan subsidi pendidikam yang terjadi di berbagai negara di
dunia termasuk Indonesia?
Masalah lain yang terkait dengan
ketidakmampuan generasi milenial membeli rumah tersebut bisa juga kita perdalam
lagi dengan pertanyaan berikutnya : apakah upah minimum yang diterima generasi
milenial mampu mengimbangi biaya hidup yang semakin tahun semakin membengkak?
Bagaimana dengan biaya pelayanan kesehatan saat ini? Apakah mahalnya akses
kesehatan mempengaruhi daya beli yang dimiliki generasi milenial?
Tentu banyak hal yang bisa jadi
pertimbangan dalam menganalisis masalah generasi milenial (sekaligus dicari
solusinya) daripada sekedar menyebut generasi milenial lebih memilih liburan
dibanding membeli rumah.
Contoh lain tentang masalah
generasi milenial yang suka berpindah pekerjaan harusnya kita lihat juga
dengan pertanyaan kritis. Dari sisi regulasi tenaga kerja misalnya : Apakah
sistem tenaga kerja kontrak dan outsourcing yang banyak digunakan perusahaan
membuat generasi milenial tidak mempunyai kepastian akan karirnya sehingga
mereka mudah bosan? Apakah upah lembur mereka dibayar saat mereka bisa
menentukan sendiri jam bekerja mereka sebagaimana menjadi tren korporasi saat
ini?
Akan sangat banyak yang bisa
digali dari pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut alih-alih menyebut generasi
milenial adalah generasi yang mudah bosan dengan pekerjaan dan tidak peduli
dengan perusahaan tempat mereka bekerja.
Kembali ke permasalahan awal,
bisakah kita berharap pada politisi-politisi di pemilu besok yang mengatakan
bahwa mereka perwakilan generasi milenial? Saya sendiri pesimis karena kampanye
yang ditampilkan saat ini masih sekedar pencitraan saja tanpa menyangkut substansi
permasalahan generasi milenial itu sendiri.
Meski begitu tetaplah harus
dilakukan kritik dan pengangkatan wacana yang lain di arena politik ini, sebab
bersikap masa bodoh terhadap politik adalah politik yang naif menurut saya. Di
sisi lain proses penyadaran pentingnya kesejahteraan dan keadilan sosial masih
harus menempuh jalan panjang.
Kondisi ini menjadikan generasi
milenial adalah generasi yang mempunyai banyak tantangan namun juga potensi
yang besar untuk mengatasinya. Bukankah generasi milenial atau generasi muda
adalah cerminan wajah masa depan suatu bangsa?
Terakhir kita patut menjadi
kritis dengan wacana yang tampak netral namun sejatinya sebuah praktek dari
ideologi pasar dimana permasalahan sosial (dalam hal ini generasi milenial)
disempitkan menjadi problem individu belaka.
Dimuat di artikulasi.id : https://www.artikulasi.id/2018/11/aksi-bela-generasi-milenial.html
Wrote by Kecoamonolog