Judul Buku: Kota Dalam Ranselku catatan backpacker Febrie
Hastiyanto
Penulis: Febrie Hastiyanto
Penerbit : Tigamaha
ISBN : 978-602-19948-1-8
Halaman : 96 halaman
Tahun Penerbitan : 2013
Saat ini kita sering menjumpai banyak buku tentang cerita
perjalanan, mulai dari buku pariwisata resmi yang diterbitkan Dinpar hingga
buku cerita perjalanan tanpa modal. Di buku berjudul Kota Dalam Ranselku- Catatan
Backpacker Febrie Hastiyanto. Esais muda Febrie Hastiyanto mencoba menulis dari
sudut pandang yang unik
Tan
Malaka barangkali tokoh ini jarang dikenal oleh generasi saat ini. Tidak heran,
selama 30 tahun rezim Orde Baru pemikirannya tidak dikenalkan oleh pemerintah
resmi. Dia dianggap tokoh berbahaya yang bisa menggoncang stabilitas negara. Ketajaman
tulisannya dalam menganalisis kapitalisme diharamkan karena dia dianggap tokoh
kiri. Padahal Tan Malaka sendiri ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh
Soekarno pada era Orde Lama dan belum pernah dicabut gelarnya. Namun siapakah
sebenarnya Tan Malaka? Mengapa tokoh ini masih relevan untuk dibicarakan? Apa
perannya dalam kemerdekaan republik?
Judul |
Gadis Penghafal Ayat |
No. ISBN |
9789792495027 |
Penulis |
M. Shoim Haris |
Penerbit |
Serambi |
Tanggal terbit |
Juli - 2012 |
Jumlah Halaman |
296 |
|
|
|
|
|
|
|
|
Setelah
gegap gempita novel religi pada tahun-tahun 2009-2010 lalu tren novel religi nampaknya belum berhenti walaupun jumlahnya sudah berkurang
drastis. Kepopuleran novel religi ini tidak lain sejak dikeluarkannya
novel Ayat- Ayat cinta yang berhasil memikat ratusan ribu pembaca
kemudian dijadikan film layar lebar yang juga menangguk sukses besar.
Kesuksesan ini kemudian mengilhami ratusan novel religi lain yang
sayangnya tidak semua dikatakan sukses. Nah salah satu novel yang
saya baca ini berjudul Gadis Penghafal Ayat . Novel yang ditulis oleh
mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam bernama M Shoim Haris ini
menjadi menarik karena mengambil cerita yang berbeda dari novel religi kebanyakan. Jika novel religi yang kebanyakan beredar
mengisahkan kisah cinta remaja yang dibumbui perjalanan ke luar
negeri maka novel ini bercerita tentang keadaan negeri menjelang
tahun reformasi 1998.
|
tampak dalam monumen pers |
So! What can I tell you about the museum?
(Night At The Museum- The
Movie)
Pada hari Selasa lalu saya
menyempatkan diri berkunjung ke Monumen Pers Nasional Surakarta. Bagi yang
belum tahu letaknya berada di Jalan Gajah Mada No. 59 atau lebih mudahnya kalau
berkunjung ke Solo cobalah tanya letak Monumen Pers, biasanya orang menunjukkan
lokasinya. Terletak di pusat kota Monumen Pers ini ketika saya kunjungi sedang
ada pameran dengan tema “ Peran Media Massa dalam kerangka Kebhinekaan” Tema
yang menurut saya Orba banget hehehe.. tapi terlepas dari itu, saya memang
tertarik dengan sejarah Pers Indonesia setelah membaca Novel nya Pramoedya A
Toer Tetralogi Pulau Buru. Di novel yang
terdiri dari 4 episode itu bercerita tentang perjalanan Indonesia dalam abad 19
menjelang kemerdekaan. Si tokoh sendiri bernama Minke seorang anak priyayi yang
dalam cerita akhirnya mendirikan media
massa untuk menyuarakan pendapat bangsa yang terjajah pemerintah Belanda. Usut punya
usut ternyata tokoh Minke ini tokoh asli yang di rekayasa oleh Pramoedya. Tokoh
ini bernama Tirto Adhi Soerjo seorang anak bupati yang mendirikan koran
berjudul Medan Prijaji. Nah dari
sinilah saya penasaran siapa sebenarnya Tirto itu, makanya saya pengen main ke
Monumen Pers
Peristiwa mengejutkan
kembali mengguncang Kota Solo. Insiden teror penembakan yang menewaskan satu
anggota kepolisian pada hari Jumat (30/8) kemarin menyiratkan luka bagi warga
kota Solo. Kejadian penembakan yang terjadi di Pos Polisi Singosaren ini bukanlah
teror yang pertama kali terjadi dalam sebulan belakangan ini di kota Solo.
Sebelumnya warga kota Solo digemparkan oleh peristiwa penembakan Pos Pengamanan
Polisi di Gemblegan pada 17 Agustus lalu serta pelemparan petasan pada Pos
Polisi Gladak yang terjadi pada malam sebelum hari Idul Fitri. Puncak dari aksi
teror tersebut terjadi pada Jumat malam (31/8) dimana 1 Anggota kepolisian
kembali tewas serta 2 orang yang diduga teroris turut menjadi korban.
Mungkin benar perkataan karl marx seratus tahun yang lalu mengatakan bahwa agama itu candu walaupun tidak bisa degeneralisirkan.
Kejadian ketika bulan puasa kemarin yang terjadi di kota saya cukup memprihatinkan. Ceritanya sebuah radio swasta di kota saya didatangi puluhan orang dari organisasi yang mengatasnamakan agama. Tuntutan mereka menurut saya sangat aneh, mereka meminta radio tersebut meminta maaf kepada masyarakat karena pada waktu sahur memutar lagu Genjer -Genjer. Sebuah lagu yang diciptakan ketika jaman penjajahan Jepang oleh seorang seniman dari Banyuwangi.
Dari seluruh buku yang pernah saya baca, pelarangan lagu genjer genjer tersebut secara resmi tidak pernah ada di Indonesia,maka saya coba mencari sedikit keterangan tentang lagu tersebut...