The truth is that everyone is bored, and devotes himself to cultivating habits
(Albert Camus)
Saya berusaha mencari kutipan yang dekat dengan apa yang saya rasakan belakangan ini, dan kata-kata Camus sepertinya nyambung. Toh kalo tak nyambung tak apa, anggaplah sebagai pembenaran atas apa yang saya rasakan.
Bukan saya sedang tidak bahagia (lagipula definisi bahagia saya sangat tergantung kondisi) justru saya sedang bahagia belakangan ini.
Saya punya pekerjaan yang meskipun tidak begitu saya sukai namun bisa untuk saya pergi jalan-jalan dan membeli sesuatu yang saya ingin, saya mempunyai banyak teman untuk diajak ngobrol dan saya baru saja bertemu orang yang saya sukai.
Meski begitu dengan kondisi materiil di atas seharusnya saya berpikir bisa lebih bahagia dari apa yang saya rasakan sekarang, tapi saya tidak bisa bertemu dengan rasa yang ada di pikiran itu. Saya merasa absurd dengan semuanya, saya bahagia namun di sisi lain saya merasa semua begitu tak bermakna dan datar-datar saja.
Saya menggambarkan perasaan saya seperti menonton konser band yang saya sukai dimana seharusnya saya bahagia karena sudah lama menginginkannya tapi ternyata tidak terjadi seperti yang saya bayangkan, sebab saya sudah pernah menontonnya.
Saya bisa menebak lagu yang akan dimainkan, wajah-wajah yang menonton dan suasana konsernya dan meski pertunjukkannya menarik namun di tengah konser saya merasa datar hingga merasa ingin pulang namun saya tetap dipaksa menunggu dan menonton hingga konsernya berakhir.
Sebab saya berada di barisan depan panggung yang penuh penontonnya hingga saya tidak bisa bergerak untuk pulang dan lagu favorit saya belum dimainkan.
Saya bahagia namun saya seharusnya bisa lebih bahagia. Saya bosan namun tak mengerti apa yang saya bosankan. Saya hanya merasa biasa saja
Bingung? Sama, yang saya rasakan juga seabsurd itu. Saya dari kemarin banyak diam karena memikirkan bagaimana mengungkapkan apa yang saya rasakan lewat tulisan dan ternyata sulit karena tetap tidak mewakili perasaan saya yang sedang absurd, dan sementara ini yang bisa saya tuliskan.
Pada mulanya adalah kata
Berubah menjadi mantra
Kemudian menyandera mata
Tersihir saat membaca
Pada mulanya adalah kata
Berkonspirasi dengan semesta
Menghendaki perjamuan
Menjadikan pertemuan
Pada mulanya adalah kata
Berelegi menjadi cinta
Tersembunyi dalam nada
Terdiam di angkasa
Pada mulanya adalah kata
Dunia menguburnya dengan dusta
Segala duka dan nestapa
Padam di pinggir jalan raya
Pada mulanya adalah kata
Memungut ingatan tentang asa
Terlihat jelas pada suara
Karena dia abadi di udara
Pada mulanya adalah kata
Namun berada di dimensi berbeda
Ruang dan waktu tak bertemu
Tidak berpihak pada yang satu
*"pada mulanya adalah kata" frase diatas saya ambil dari esai Sutardji dan sangat terpengaruh bahasan tentang Derrida dalam buku filsafat fragmentaris Budi Hardiman.
Sungguh kami telah kehabisan kata-kata keadilan
Keadilan dimana nama Tuhan selalu diucapkan setiap sidang
Kamipun telah kehabisan cerita-cerita kebenaran
Ketika hukum hanya dijadikan transaksi politik murahan
Ayat ayat keadilan hanya tajam menghukum ke tak berpunya
tetapi tumpul menghadapi sang Penguasa
Apa lagi yang akan kami ceritakan ke anak cucu kami?
Bahwa kami menanggung hutang 9 juta rupiah begitu dilahirkan?
Bahwa sumber daya alam telah habis dikuras perusahaan?
atau cerita bahwa kami hanyalah pengangguran karena negara kami telah digadaikan?
Jangan bilang kami tidak berteriak
Karena elit kami lupa cara mendengar
Bahkan kami pun diberi hadiah pukulan atas nama ketertiban
(nemu ini di catatan Facebook saya)
Senja kala beriman atau mati tertawan
Ketika rebonding dan foto pre wedding diharamkan
Maka mengapa diam ketika korupsi bermunculan dari selangkangan pejabat murahan?
Kehabisan ayat untuk menghakimi atau terlalu sibuk mengurusi ruang imaji?
Melarang berkawan dengan komunis di jaringan sosial berlagak paham dengan konsep ideal
Ketika ditanyakan pada yang berwenang
berlagak tenang menjawab seolah Tuhan
"..saya belum lihat tapi yang jelas komunis berbahaya.."
Hei bung turunlah ke jalan lihat sekeliling kalian. . . !
Kami bukanlah katak dalam tempurung
Yang mudah kau jilat dan kau kurung
Dan biarkan bumi menjadi saksi
Bahwa sejarah telah memanipulasi
Sejarah negeri dan demokrasi !