Gerakan Mahasiswa di Tengah Krisis Wacana Intelektual*

Pada tahun 2008 ibukota sistem kapitalisme AS diguncang krisis ekonomi. Adanya kredit macet dalam sektor perumahan membuat beberapa perusahaan keuangan besar Amerika Serikat gulung tikar, sebagian lagi mengemis kepada pemerintah untuk diberikan bantuan keuangan untuk mengatasi krisis yang lazim disebut bailout.
Guncangan ekonomi yang terjadi diperkirakan lebih dahsyat daripada krisis ekonomi yang terjadi pasca perang dunia pertama ini mengakibatkan tidak hanya hancurnya perekonomian AS namun juga seantero Eropa.

Gelombang krisis ekonomi menyebabkan pencabutan subsidi, PHK besar-besaran hingga privatisasi sektor-sektor publik di berbagai negara Eropa. Negeri para dewa Yunani bisa jadi contoh bagaimana negara itu hancur dalam sekejap ditimpa krisis keuangan, angka pengangguran penduduknya mencapai rekor tertinggi dalam sejarah, terjadi beberapa kali kerusuhan sosial dan pergantian pemerintahan untuk mencegah krisis yang lebih luas.

Begitu juga yang terjadi di Italia serta Portugal serta negara-negara kecil di Eropa Barat. Lonceng kematian kapitalisme yang didengungkan sejak kelahiran Revolusi Industri seperti menemui titik nadirnya saat ini.
Hampir dua tahun yang lalu pula ribuan anak muda membanjiri Wall Street di kota New York, Amerika Serikat (AS). Alih-alih bekerja di salah satu pusat perekonomian dunia, mereka justru menuntut adanya perbaikan sistem keuangan global dengan gerakan Occupy Wall Street.

Meski tidak menemui hasil perubahan yang signifikan, gerakan OWS ini kemudian membuka mata dunia bahwa dunia tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Sebelumnya ribuan rakyat dan anak muda Tunisia menuntut perbaikan nasib serta meminta pemerintah untuk menurunkan harga makanan. Gerakan ini juga dilakukan di Qatar, Iran, Libya dan lain-lain.

Drama revolusi yang paling heboh terjadi di negeri seribu satu kisah Mesir dengan gerakan Musim Semi Arab berhasil  menurunkan Presiden Husni Mubarak yang telah duduk di pusat kekuasaan selama hampir 25 tahun. Aksi ini kemudian merembet hingga seluruh semenanjung Arab menuntut adanya perubahan sistem sosial serta ekonomi yang berlangsung hingga sekarang.

Sementara di Asia keadaan justru berbeda. Krisis ekonomi yang sedang gempar di Eropa nampak tidak berpengaruh di Asia. Indonesia sebagai salah satu negara besar di Asia Tenggara disibukkan dengan permasalahan internal dalam negeri yang belum stabil sejak reformasi bergulir pada tahun 1998.
Jika ditelisik lebih jauh sebenarnya sumbu krisis yang sudah dibakar di Eropa dan AS sudah pasti akan meledak juga di Indonesia, hanya saja waktunya belum dapat dipastikan, karena saat ini kita sedang menikmati buangan hasil krisis yang terjadi di AS dan Eropa

Layaknya menguji doktrin bahwa kapitalisme akan menyembuhkan dirinya sendiri seiring waktu, namun masih adakah waktu sebelum semua jadi abu? Hal ini lah yang kemudian harus disadari oleh pelaku gerakan mahasiswa saat ini untuk kemudian mengikuti perkembangan situasi internasional dan dampaknya terhadap situasi nasional dimana pernah dilakukan oleh anak muda di era 1920an yang berhasil merumuskan gerakan kemerdekaan republik hingga muncul Revolusi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Pertengahan tahun 2014 wacana Pilkada langsung digulirkan oleh pemerintah, hal ini kemudian ditanggapi oleh gerakan mahasiswa yang turun ke jalan selama 2 bulan di seluruh penjuru tanah air. Ada harapan bahwa gerakan mahasiswa ini akan mengulangi kesuksesan pendahulu mereka pada tahun 1998 namun kemudian harapan ini hanya jadi harapan. Begitu palu Pilkada langsung diketok kampus kembali senyap dari gerakan mahasiswa.

Kemudian timbul pertanyaan menarik apa yang dapat dipelajari dari aksi yang dilakukan kemarin? Ada beberapa yang jika kita ikuti menarik secara teknis gerakan demi kemajuan gerakan mahasiswa ke depannya.

Pelajaran pertama adalah bentuk aksi yang tidak lagi monoton, aksi tidak lagi dilakukan di depan simbol-simbol pemerintahan (istana negara, DPR, DPRD, Gedung Balaikota dll) namun juga menduduki ruang publik seperti bandara, stasiun, jalan raya yang berhasil memancing perhatian masyarakat yang lebih besar. Yang kedua adalah pusat aksi bukan di hanya di ibukota namun kota-kota besar di seluruh tanah air yang justru memicu gerakan ini didengar oleh pemerintah, dan  yang ketiga sudah adanya embrio dari gerakan di berbagai sektor seperti mahasiswa, buruh, petani dan nelayan yang kemudian turun bersama untuk menolak Pilkada Langsung. Catatan khusus lainnya mengenai gerakan mahasiswa adalah lemahnya media yang dimiliki mahasiswa untuk menyebarkan idealismenya baik kepada mahasiswa maupun masyarakat. Keringnya wacana mahasiswa akibat tekanan kuliah dan tingginya biaya pendidikan menjadikan aktivis bagaikan makhluk asing di kalangannya sendiri. Pemanfaatan jejaring internet bisa jadi media yang mudah untuk penyebaran wacana namun ingat gerakan terjadi di jalan bukan di depan layar komputer.

Menghidupkan kembali ruang-ruang diskusi kritis di dalam kampus serta keberhasilan mengorganisir masyarakat lintas sektor yang dimulai sekarang bisa jadi tolok ukur kesuksesan gerakan mahasiswa di masa depan. Butuh konsistensi serta pengorbanan yang besar untuk mereka yang setia dalam jalur idealisme untuk menciptakan gerakan sosial baru.

Tentu bentuk aksi saja tidak cukup, jika kemudian gerakan mahasiswa hanya mengandalkan momentum (apalagi reaksioner) tanpa berusaha membuat momentum sendiri maka benarlah tesis mahasiswa hanya menjadi intelektual di menara gading.

Pola pikir gerakan mahasiswa yang menurut penulis tepat saat ini adalah menyusun konsep gerakan Indonesia dengan membalik mitos globalisasi adalah jalan satu-satunya menuju kesejahteraan masyarakat.
Doktrin gerakan mahasiswa haruslah berpegangan pada slogan Think Local Act Global atau berpikir secara mendalam apa yang terjadi di lingkup dalam negeri namun setiap bentuk aksi haruslah aksi yang dilakukan secara global atau melibatkan sebanyak mungkin partisipan dari seluruh dunia.

Merujuk tesis globalisasi yang digemborkan bahwa dunia saat ini saling terkait satu  dengan yang lain maka mustahil masalah pada suatu negara diselesaikan sendiri tanpa membuka mata lebih luas. Jaringan korporasi internasional yang saat ini mencengkramkan kukunya di berbagai negara bisa dilawan dengan gerakan sosial yang terkait antar negara. 

Terakhir mengutip Ali Syariati dalam bukunya Ideologi Kaum Intelektual menjadi intelektual bukanlah sekedar menjadi seorang dengan pola pikir rasional dan ilmiah yang terpisah dari kehidupan sosial, namun sebaliknya menjadi intelektual haruslah bisa menyampaikan kebenaran dengan bahasa yang mudah dimengerti bagi masyarakat serta menjadi motor untuk gerakan sosial.

* Disampaikan dalam diskusi di HMI Cabang Kota Bogor Komisariat FAI UIK
**Penulis adalah mahasiswa tingkat (ter)akhir yang saat ini sedang mengejar skripsi

Share:

0 comments