Jalan Jalan Kampung Batik Kauman Solo
Setelah lebaran kemarin saya mempunyai kesempatan jalan-jalan di
Kampung Batik Kauman Solo. Letak Kampung Batik Kauman sendiri berada di pusat
kota Solo yaitu di dekat Keraton Surakarta, Masjid Agung dan Pasar Klewer yang
legendaris itu.
Ketertarikan saya terhadap kampung Batik Kauman sebetulnya sudah
lama sejak membaca perjalanan tokoh Haji Miscbach di buku Zaman Bergerak
Takeshi Shiraisi. Di buku itu diceritakan Kauman ini merupakan kawasan elit
pada zamannya karena di sanalah terdapat rumah-rumah pejabat Keraton Solo dan
pembuat batik untuk para raja raja Keraton Surakarta.
Haji Misbach menjadi salah satu tokoh favorit saya karena menurut
sejarahnya dia adalah salah satu penggerak pemogokan buruh dengan mengusung
ideologi unik yaitu islam komunis. Dan Kampung Kauman adalah tempat Haji
Misbach lahir dan tinggal meskipun nantinya dia lebih banyak menggerakkan buruh
di daerah Klaten dan sekitar Vorstenladden (Nama daerah Solo dan Jogja saat
Hindia Belanda yang artinya wilayah kerajaan) sebelum akhirnya dibuang oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Baiklah cerita Haji Misbach saya tunda dulu
jika ada kesempatan menulisnya lagi.
Perjalanan ke Kampung Batik Kauman saya mulai sore hari dari BCA
Gladak yang terletak di ujung jalan Slamet Riyadi atau sering dikenal dengan
kawasan Gladak. Sebetulnya bukan kali pertama saya ke Kauman ini, tapi saya
pernah dulu sekali berkunjung kesini itupun cuma iseng dan sekedar melintas
mengendarai motor. Berbeda dengan perjalanan ini karena saya berjalan kaki.
Jadi buta peta Kauman adalah istilah yang tepat untuk momen ini dan menurut
saya di situ serunya, buat apa jalan jalan jika sudah diketahui semuanya hehehe...
Saya berjalan tepat di gang tepat sebelum BCA Gladak, di pertigaan
besar pertama petualangan dimulai menelusuri Kauman. Entah mengapa siang ini
kawasan Kauman terlihat sepi padahal berangkat dari rumah saya membayangkan
hari ini Kauman bakal crowded dengan turis lokal karena masih dalam rangka libur
lebaran, ternyata saya salah. Hanya tampak bapak-bapak tukang becak di ujung
gang yang asik ngobrol dan jalanannya pun lengang.
Di gang pertama yang saya masuki belum terlihat rumah-rumah tua
yang banyak diunggah di internet mengenai Kauman. Saya pikir saya salah jalan
apalagi setelah memasuki toko batik pertama, tampak seperti toko batik pada
umumnya alias biasa saja. Keluarnya dari sana saya melanjutkan jalan kaki
sampai akhirnya menemukan gang dengan tekstur jalan dari batu dan corak unik,
rasanya ini Kauman yang banyak dipromosikan.
Benar saja di gang tersebut lebih ramai dari gang pertama yang
saya lewati. Bangunan tuanya pun mulai terlihat dari jendela dan pintu yang
besar dan terbuat dari kayu juga terlihat banyak orang yang lalu lalang
menenteng tas belanjaan. Saat melihat ke jalannya pun sangat klasik karena
tersusun dari batu bukan aspal seperti jalan jalan kampung modern.
Rumah pertama yang saya masuki adalah rumah Belanda di kiri jalan,
toko batik juga tapi lupa saya namanya yang jelas penampakan terasnya model arsitektur
Belanda semacam rumah Nyai Ontosoroh di bukunya Pramoedya. Berikutnya tempat
yang saya datangi lumayan besar sebuah toko yang masih ada halamannya dan ada
tempat untuk jajannya. Saya hanya masuk sebentar ke dalam toko karena memang
tidak ada niat untuk membeli sesuatu dan tidak sempat memfotonya.
Setelah itu saya melanjutkan jalan ke toko batik Gunawan, ini saya
ingat namanya karena sering disebut jika anda Googling tentang Kampung Batik
Kauman. Hal yang menarik di toko Gunawan ini menurut saya adalah display
tentang pembuatan batik tulis tradisional secara langsung di bagian belakang
tokonya, namun sayang ketika saya kesana tidak melihatnya karena masih libur
lebaran. Disini saya menyempatkan mengambil beberapa foto di dalam toko sembari
mengagumi bagian dalam rumahnya yang masih terjaga.
Puas di dalam toko saya melanjutkan perjalanan lagi, sekarang
menyusuri gang-gang sempit di kawasan Kauman. Rumah-rumah yang ada di dalam
Kauman memang masih mencirikan bangunan tua, namun saat berjalan saya juga
melihat banyak yang mulai dirubah oleh pemiliknya menjadi rumah modern, sebuah
paradoks karena berdampingan dengan rumah-rumah di sebelahnya.
Menarik menyusuri gang-gang sempit dengan tembok-tembok tua di
Kauman karena terasa berbeda dengan Kampung Batik Laweyan misalnya yang
jalannya sudah berukuran besar dan rumahnya cenderung tertutup meskipun
sama-sama bernama Kampung Batik. Konon dalam sejarahnya Kampung Batik Kauman
memang dekat dengan Keraton karena selain letak kawasannya juga karena banyak
pangeran yang berdiam disana dibanding dengan Kampung Batik Laweyan yang lebih
mandiri baik dari permodalan kraton dan juga letaknya yang jauh dari pusat
kota. Asumsi saya itu mengapa rumah-rumah di Laweyan cenderung mempunyai
tembok-tembok yang tinggi dan tertutup.
Hampir satu setengah jam saya menyusuri gang-gang sempit Kauman
kemudian melanjutkan lagi kembali ke jalan besar. Kali ini niatnya cari es teh
di sekitar Alun-Alun Utara. Karena jalan memutar jauh saya memotong jalan lewat
Masjid Agung Surakarta. Nah kalo ini saya ingat pernah ketika kuliah menginap
disini diajak kakak-kakak tingkat saya di HMI. Saat itu memang sedang diadakan
traning Latihan Kader 2 di sana, saya sebagai anggota baru merasa senang waktu
itu pertama kali bertemu dengan teman-teman dari seluruh Indonesia, ah cepat sekali
rasanya waktu berlalu.
Di Masjid Agung saya sempat mem-foto menara adzan yang belakangan
saya ketahui desainnya meniru sebuah menara masjid klasik Islam di India sana.
Namun menara milik Masjid Agung ini sangat sederhana dibanding yang asli, tidak
ada kaligrafi yang menghiasi dindingnya. Bagian menarik lain dari Masjid Agung yang
saya ingat adalah keberadaan dua ruangan tepat setelah gerbang masuknya yang
berfungsi untuk tempat menaruh gamelan milik keraton yang hanya dikeluarkan
saat hari raya Idul Fitri.
Selepas dari Masjid Agung saya melanjutkan jalan-jalan ke arah
Utara Alun-alun mencari wedangan sembari melepas lelah sejenak. Disini jalanan mulai
terlihat ramai di sore hari, selain banyak plat nomor mobil luar berlalu lalang
disitu memang terdapat pusat cendera mata batu akik yang belakangan ini marak
di Indonesia. Begitu juga dengan kawasan Gladak dimana banyak pedagang kecil
menjajakan makanan secara lesehan di trotoarnya, akrab dan hangat melihatnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 belum puas menyusuri seputaran
Kauman dan Keraton saya melanjutkan perjalanan ke arah Pasar Gede. Setiap jalan
disini saya teringat beberapa kali pernah demonstrasi menentang kebijakan
pemerintah zaman SBY mulai dari menentang pencabutan subsidi hingga
pemberantasan korupsi. Rasanya ada yang kurang kalo pernah kuliah di Solo dan tak
pernah aksi di sekitaran
sini karena inilah pusatnya kota hehehe..
Di Pasar Gede kebetulan sedang ada pameran foto dalam rangka
lebaran. Foto-foto yang ditampilkan dengan ukuran besar dan dipasang di Pasar
Gede adalah wajah-wajah para penjual di sekitaran Pasar Gede namun saya tidak
mencatat siapa fotografernya. Satu hal yang baru saya sadari saat melintas di
sana adalah hilangnya jembatan penyeberangan yang dulu pernah teman-teman
aktivis pasangi spanduk tolak kenaikan BBM saat demonstrasi hahaha...
Perjalanan ke Kampung Batik Kauman saya lanjutkan dengan wedangan
di depan Benteng Vastenberg sembari menikmati senja. Disana juga sedang ada
pertunjukan Ramayana namun saat saya disana baru gladi resik alias persiapan
jadi minum es kopi saja sembari beristirahat. Mungkin ini yang orang dulu menamakan
klangenan, duduk santai diiringi keroncong, syahdu tenan.
Baiklah catatan jalan jalan ke Kampung Batik Kauman saya akhiri
disini. Saya sendiri suka dengan bangunan atau kawasan tua dengan gaya
arsitektur Belanda. Ada perasaan kembali ke masa lalu jika melintasi
daerah-daerah tersebut membayangkan para guru bangsa melintasi jalan yang sama
di eranya, itu mengapa saya biasanya menyentuh dinding dinding tua untuk lebih
menghayati nostalgianya. Semoga bisa jalan-jalan ke kota tua lainnya sebelum
semua berubah atau hilang ditelan kemajuan zaman.
Tags:
blog
Budaya
cerita
Curhat
jalan-jalan
Kampung Batik
Kauman
kota
kraton
notes
pribadi
refleksi
review
Solo
wisata
0 comments