Sepenggal Cerita Dari Salatiga


Sudah lama ingin ke kota Salatiga dan akhirnya minggu lalu terlaksana juga. Kota ini menarik perhatian saya karena sering saya lihat saat naik bis baik saat mau ke ke Jakarta/ Bogor ataupun sekarang ke Semarang. Kota Salatiga dari atas bis lintas Semarang saja terlihat banyak bangunan tua yang terletak di pinggir jalan utamanya apalagi dalam kotanya begitu pikir saya.

Belakangan baru saya ketahui kota Salatiga di era kolonial memang diatur sebagai kota peristirahatan bagi orang-orang Eropa yang tinggal di sekitaran kota tersebut, bahkan menurut Wikipedia kota ini sempat mendapat julukan De Schoonste Stad van Midden-Java yang artinya Kota Terindah di Jawa Tengah. Tidak berlebihan menurut saya orang-orang Belanda menyebutnya begitu karena kota ini dikelilingi oleh Gunung Merbabu, Merapi, Ungaran dan Telomoyo yang membuat udaranya sejuk dan cocok didirikan vila atau rumah mewah tuan-tuan Eropa.

Kemarin ke sini sebetulnya pergi dadakan alias baru direncanakan malam harinya. Alhasil berangkatlah saya dan teman-teman dari kota Solo jam 10 pagi dengan tujuan yang belum jelas kemananya, pakai prinsip yang penting berangkat dulu spotnya belakangan hahaha.


Karena yang lain belum sarapan tidak lupa sarapan dulu ke soto hits Mbok Giyem di Boyolali, sebetulnya karena tahunya ya cuma tempat ini yang familiar di Boyolali. Sehabis sarapan kami melanjutkan perjalanan ke Salatiga, beruntung jalanan saat itu lancar jadi hanya 40 menit sudah sampai di Salatiga, kami memutuskan untuk berhenti di lapangan Pancasila karena itu yang paling gampang dicari di Google Maps hehehe...

Petualangan sambil jalan pun dimulai dari kawasan lapangan Pancasila, yang pertama kami lihat tentu rumah dinas Walikota Salatiga. Nah rumah dinas ini awalnya rumah ini dimiliki seorang pengusaha bernama Baron van Hikkeren dan dibangun tahun 1850. Rumah tua ini juga punya sebutan gedung papak karena atapnya yang datar berbeda dengan rumah tua era kolonial lain. Btw karena masih aktif digunakan jadi tidak foto dari dalam alias dari depan saja.

Melanjutkan jalan kaki ke seberangnya mata saya tertuju ke bangunan gereja tua yang namanya Gereja Kristen Jawa Tengah Utara. Saya coba gugling tentang gereja ini saya tidak menemukan sejarahnya yang jelas kapan berdirinya, mungkin ada yang bisa bantu kasih di kolom komentar ya hahaha

Puas foto-foto di gereja kami berjalan lagi muter lapangan Pancasila, baru berjalan sebentar ada 1 rumah tua yang terletak di pinggir lapangan, dan konon rumah ini adalah saksi sejarah Perjanjian Giyanti yang menjadi pertanda berdirinya Keraton Mangkunegaran. Well jika memang benar berarti rumah ini benar-benar tua karena perjanjiannya sendiri berlangsung pada tahun 1757, meskipun saya ragu kalo lihat bentuknya apa benar masih sama dengan yang saya lihat sekarang.

Satu spot lagi di lapangan Pancasila yang menarik perhatian kami adalah keberadaan gardu listrik di depan GKJTU yang berbeda dengan gardu listrik kuno yang saya lihat di kota lain. Perbedaannya yang di Salatiga ini sekarang digunakan sebagai loket PLN. Jadi di dalam gardu ini ada satu penjaga loket lengkap dengan komputernya siap melayani pelanggan untuk melakukan segala macam transaksi berbau kelistrikan.

Puas dan lelah mengitari lapangan Pancasila kami melanjutkan petualangan ke daerah Jalan Diponegoro Salatiga yang dulunya bernama Tuntangse Weg atau Jalan Tuntang, nama sebuah kawasan yang terletak diantara Salatiga dan Ungaran. Nah di kawasan ini mungkin yang paling terkenal adalah bekas Benteng Hock yang sekarang digunakan sebagai Kantor Satuan Lantas Salatiga tapi saya sendiri memilih foto-foto bangunan tua di seberang jalannya.


Dari sini kami kembali ke arah kota untuk tujuan akhir yaitu cari tempat kopi. Nah sepanjang perjalanan ini banyak sekali rumah-rumah tua yang masih terawat terutama di sekitaran jalanan UKSW yang sempat saya ambil fotonya. Meski menurut saya jumlah rumah-rumah tuanya tergolong banyak namun di berbagai berita kota Salatiga ini termasuk abai dalam pemeliharaan dan perawatan dengan banyaknya bangunan-bangunan tua yang dihancurkan atau dirubah bentuknya, tentu ini memprihatinkan.

Akhirnya perjalanan kami ke Salatiga berakhir di tempat ngopi setelah ngobrol-ngobrol dan istirahat, saya dan teman-teman berpisah di sini. Jadi begitu sepenggal cerita dari Salatiga, rasanya saya masih ingin jelajah lagi kota ini karena kemarin lupa mencari dimana kawasan Pecinannya, amin..


Referensi


Share:

0 comments