Mempertanyakan Omnibus Law

Wacana RUU omnibus law harus kita cermati karena menyangkut nasib angkatan kerja Indonesia, jika tak boleh menyebut masa depan kita semua. Meski belum keluar rancangan aturan apa saja yang akan diubah lewat RUU omnibus law namun masyarakat sudah ramai membahas wacana ini sejak akhir tahun kemarin. 

Ada lebih dari 1000 pasal yang dibagi menjadi 11 cluster diusulkan perubahannya oleh pemerintah dan semuanya berkaitan dengan investasi. Salah satu yang menjadi perhatian adalah perubahan aturan tentang tenaga kerja yang dinilai merugikan masyarakat.

Hal yang menjadi sorotan yaitu wacana pengaturan upah tenaga kerja dan kebijakan aturan tenaga kerja yang lebih fleksibel (flexible worker) selain isu seperti kemudahan aturan mengenai penggunaan tenaga kerja asing dan penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan nakal yang rencananya diganti dengan sanksi administrasi.

Usulan RUU omnibus law juga didasarkan pemerintah dari laporan tahunan World Economic Forum (WEF) tentang daftar negara paling kompetitif pada bulan Oktober tahun 2019 lalu. Dalam laporan tahunan tersebut Indonesia menduduki perangkat 50 dunia, turun 5 peringkat dari tahun 2018. Indonesia hanya berada di peringkat 4 kawasan Asean di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Penilaian tersebut menjadi acuan pemerintah untuk berbenah agar lebih kompetitif dengan merubah berbagai macam aturan yang dianggap menghambat investasi.

Perubahan aturan tenaga kerja menurut pemerintah bertujuan untuk menarik investasi luar negeri dan menciptakan lapangan kerja baru. Pemerintah mengatakan Undang –Undang Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003 (UU Naker 13/2003) masih menjadi salah satu hambatan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah juga mengungkapkan alasan perubahan aturan tenaga kerja yang lebih fleksibel sudah diterapkan di beberapa negara maju.

Sayangnya penjelasan yang tidak disebutkan pemerintah yaitu fakta bahwa kebijakan negara maju sejalan dengan perlindungan sosial pekerjanya yang sudah ditanggung secara penuh dari perolehan pajak mereka, misalnya jaminan kesehatan atau pendidikan yang gratis di Luksemburg.

Kondisi berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, awal tahun ini saja pemerintah telah menaikkan iuran Badan Perlindungan Jaminan Sosial (BPJS) hampir 100 persen, belum lagi kenaikan biaya hidup lain yang dapat membebani biaya hidup masyarakat seperti kenaikan biaya listrik dan air bersih. 

Di samping itu dengan UU Naker 13/2003 yang berlaku saat ini pelanggaran terhadap aturan tenaga kerja masih banyak terjadi. Pelanggaran yang sering dilakukan seperti pekerja kontrak diberhentikan sejenak kontraknya setelah 3 tahun bekerja untuk kemudian melakukan kontrak ulang, sehingga menghindari kewajiban pengusaha mengangkat menjadi pekerja tetap sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (3) UU Naker 13/2003.

Pada kasus lain yang juga ramai diberitakan yaitu adanya perbedaan upah antara pekerja kontrak dengan pekerja tetap  meski dengan beban kerja yang sama mudah ditemui di berbagai daerah.

Minimnya pengawasan dari pemerintah dan belum adanya sanksi tegas dalam penegakan aturan kepada pengusaha menjadikan pelanggaran terhadap hak pekerja menjadi sesuatu yang lazim. Tentu adanya revisi aturan tenaga kerja yang lebih longgar dengan RUU omnibus law dikhawatirkan akan terjadi lebih banyak lagi pelanggaran dilakukan perusahaan dan berujung merugikan masyarakat.

Meski kondisi ekonomi Indonesia saat ini tergolong aman dan daya beli masyarakat cenderung stabil dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, WEF sendiri meramalkan pada tahun 2020 adalah tahun yang sulit diprediksi bagi negara-negara berkembang di tengah ancaman resesi global.

Untuk itulah perubahan aturan RUU omnibus law , terutama mengenai revisi aturan tenaga kerja harus lebih memperhatikan aspirasi dari serikat pekerja dan masyarakat. Tanpa pertimbangan yang matang bukan hal yang mustahil kebijakan tersebut justru kontraproduktif dan melemahkan kondisi perekonomian bangsa.

Referensi :

Share:

0 comments