“Kami diajar untuk secara jujur
menyatakan perasaan hati kami.”
(Pramoedya AT-Bumi Manusia)
Rasanya tidak kurang
setiap hari kita menengok berita tentang kebobrokan pemerintah mengurusi
republik. Mari kita tengok data dan angka yang dikeluarkan pemerintah, angka
kemiskinan masih di angka 40 juta orang dengan
standar yang sangat minimal yaitu penghasilan 200 ribu perbulan (jika memakai
standar Bank Dunia maka akan mencapai 75 juta orang) . Sektor pendidikan tak kalah
mengerikan, masih ada 10 juta anak putus sekolah dan tak bisa meraih pendidikan
lebih tinggi dari sekolah dasar yang tentu minim pengetahuan. Tentang angkatan
kerja pun tak jauh beda, republik ini masih punya 15 juta pengangguran dan 25
juta setengah pengangguran. Hebatnya kemiskinan tadi bukanlah sekedar angka,
namun fakta yang saat ini mencerabut nurani kita. Jadi bebal dan mati hati rasanya
setiap hari menyaksikan ribuan orang antri untuk mendapatkan beras miskin
hingga berdesakan, mengeluh tentang harga sembako dan hingga bentrokan dengan
aparat keamanan demi mempertahankan tanah leluhur di pedalaman. Tidak salah
rupanya jika seolah-olah saat ini setiap orang diwajibkan berjuang demi
keselamatan diri sendiri, tak segan untuk membunuh rasa kemanusiaan. Menjadi Bangsa
yang saling terasing dari sesama pemghuninya di tengah kebingungan hendak
dibawa kemana bangsa masa depan? Inikah yang diinginkan kemerdekaan?
Perempuan itu dijemput tanggal 23 april 2011, dua hari setelah perayaan
Hari Kartini. seorang perempuan aktivis HMI yang juga aktif di
Muhamaddiyah dan saya sempat mngenalnya meski tidak begitu akrab. Setahu
saya dia sangat rajin ke komisariat dan pintar dalam berdiskusi.
Beberapa kali saya bertukar pikiran dengannya meski tidak secara
langsung bertemu alias via sms saja. Pernah sekali itu beberapa tahun
lalu saya ingin berkunjung ke rumahnya, sekedar ingin tahu karena
rumahnya berada di Desa Karangdowo Klaten dimana saya selalu tertarik
kalo diceritakan tentang sawah-sawah namun ternyata Allah belum
mengizinkan saya berkunjung hingga akhirnya saya ke rumahnya ketika
almarhumah telah meninggal dunia. Saya baru tahu rumahnya memang
benar-benar jauh ketika melayat kesana yaitu sekitar satu jam perjalanan
dari kampus. Kalo tidak salah ingat lewat 3 kota kecil di daerah Baki
melalui jalan Dawung menuju Klaten itu sebelum akhirnya berbelok di
perlintasan rel kereta api (saya lupa namanya). Menurut keluarganya
setiba kami di sana diceritakan bahwa Almarhumah meninggal dunia karena
mengalami gangguan pernafasan. Saya ingat sekitar jam 9 Malam sebelum
meninggalnya almarhumah sempat menulis status di Facebook yang
mengatakan bahwa dia sudah tidak kuat dan harus mondok di PKU. Malam itu
juga saya sebenarnya ingin menanyakan beliau sakit apa karena sudah
lama saya tidak kontak dengannya, namun karena suatu hal saat itu saya
urungkan niat saya. Jujur semenjak beliau lulus kuliah saya memang
kehilangan komunikasi bertemu maupun ia sms, paling hanya melihat
statusnya di FB dan tidak bertanya pula ke kawan-kawan komisariat fisip
mengenai kesibukan almarhumah setelah lulus kuliahnya.