Tak Ada kata Terlambat Untuk Mer(d)eka *
(Pramoedya AT-Bumi Manusia)
Rasanya tidak kurang
setiap hari kita menengok berita tentang kebobrokan pemerintah mengurusi
republik. Mari kita tengok data dan angka yang dikeluarkan pemerintah, angka
kemiskinan masih di angka 40 juta orang dengan
standar yang sangat minimal yaitu penghasilan 200 ribu perbulan (jika memakai
standar Bank Dunia maka akan mencapai 75 juta orang) . Sektor pendidikan tak kalah
mengerikan, masih ada 10 juta anak putus sekolah dan tak bisa meraih pendidikan
lebih tinggi dari sekolah dasar yang tentu minim pengetahuan. Tentang angkatan
kerja pun tak jauh beda, republik ini masih punya 15 juta pengangguran dan 25
juta setengah pengangguran. Hebatnya kemiskinan tadi bukanlah sekedar angka,
namun fakta yang saat ini mencerabut nurani kita. Jadi bebal dan mati hati rasanya
setiap hari menyaksikan ribuan orang antri untuk mendapatkan beras miskin
hingga berdesakan, mengeluh tentang harga sembako dan hingga bentrokan dengan
aparat keamanan demi mempertahankan tanah leluhur di pedalaman. Tidak salah
rupanya jika seolah-olah saat ini setiap orang diwajibkan berjuang demi
keselamatan diri sendiri, tak segan untuk membunuh rasa kemanusiaan. Menjadi Bangsa
yang saling terasing dari sesama pemghuninya di tengah kebingungan hendak
dibawa kemana bangsa masa depan? Inikah yang diinginkan kemerdekaan?
Sungguh sejak
diproklamirkan 17 Agustus 1945 lalu para pendiri bangsa tak pernah berpikir kondisi
republik akan seperti saat ini. Jutaan syuhada dan pahlawan yang dulu berjuang
demi kemerdekaan mungkin sekarang menangis dalam kuburnya melihat belum juga
tercapai kemerdekaan yang diinginkan. Belum lagi mereka yang tidak disebut
veteran dan beruntung hidup hingga sekarang. Sudah cukup mereka geleng kepala
melihat keadaan, tak bijak rasanya meminta mereka berperang saat ini jika musuhnya
adalah anak bangsa sendiri. Apalagi harusnya setiap zaman mempunyai pahlawannya
sendiri yang melanjutkan tongkat estafet republik. Tentu mereka tidak masuk
dalam kategori itu. Kitalah anak zaman sekarang yang harus menyelesaikan
bobroknya pemerintahan ini. Dan seperti kata orang bijak bahwa dari sejarahlah kita bisa belajar mencapai
tujuan kemerdekaan di masa kini dan masa datang
Mari kita tengok apa
yang diinginkan Koesno Sosrodiharjo, orang yang kemudian dikenal dengan nama Soekarno
bapak proklamator. Beliau pada sidang BPUPKI dua bulan jelang proklamasi kemerdekaan pernah
berkata “ Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya
merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup
makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu
Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?” Pasangannya Hatta tak
kalah hebat dalam mengimpikan Republik,. Ketika mengambil studi di Belanda
beliau ditangkap atas tuduhan makar terhadap pemerintahan Belanda dan seorang
provokator kerusuhan di Republik yang belum beridiri itu lewat majalahnya yang
dikirim untuk para pejuang. Dalam pledoinya yang terkenal berjudul Indonesia
Merdeka di Belanda beliau berucap di depan pengadilan Belanda “..Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat
perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam
miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya..” . Jauh sebelum itu Dua
kutipan yang masih relevan seperti menyindir kondisi republik sekarang. Mengenai
mereka yang disebut kapitalis serta rakyat yang masih kelaparan karena miskin
kedaulatan. Padahal sudah ditulis hampir 70 tahun silam. Lalu apa yang salah
ketika saat ini yang ditemui belum jauh berbeda sejak merdeka? Mungkin kita
perlu merumuskan ulang makna kemerdekaan dan siapa musuh yang dinamakan
penjajah republik saat ini
Penjajahan abad 21 telah
berubah bentuk dan namanya. Tak bisa lagi kita sekedar mengulang teori-teori
lama yang bercerita tentang penjajahan. Saat ini globalisasi mengumandangkan
mantera saktinya tentang kebaruan zaman meski ini hanya nama lain dari
penjajahan. Jika zaman dahulu penjajah mengedepankan moncong senjata maka kali
ini cukup mengontrol tv dan media. Segala macam informasi dibuat untuk
mengilusi rakyat bahwa keadaan republik baik-baik saja, terlihat nyaman dan
menyenangkan sehingga cukuplah rakyat diam karena kesalahan mereka sendiri jika
tak mendapat bagian. Ini masih ditambah perjanjian-perjanjian dengan asing yang
menyengsarakan seperti dikomesilkannya sumber daya alam yang ironisnya dilegitimasi
oleh hukum republik sebagai bagian dari kesepakatan hutang. Meski hasil hutang
itu sendiri hasilnya tak pernah dinikmati sebagian besar orang. Tak perlu lagi
penjajah datang dengan mendirikan pemerintahan
koloni di semenanjung republik, karena atas nama korporasi dan investasi semua
bisa diterjang. Tidak heran sumber daya alam republik ini begitu mudah dikuasai
asing. Sektor tambang pangan dan perbankan sebagai contoh relevan yang sekarang
90 persen asetnya bukanlah milik republik yang berdaulat ini namun telah
dimiliki oleh pemilik saham yang entah berada dimana. Dan apapun namanya
penajajahan selalu memakan korban dari rakyat tak berpunya dan tak mengerti
apa-apa. Rakyat tak banyak berubah nasibnya sejak kedatangan Belanda dan saat
ini gelombang globalisasi mendera. Meski jelas bahwa pendiri republik bangsa
ini tak ingin kita anti asing namun merika mengingatkan modal asing harus bisa
mendorong kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya bukan untuk
mengeksploitasi republik serta rakyatnya seperti sekarang.
Tidak ada kata terlambat
bagi kita semua untuk segera menggulirkan zaman baru. Zaman dimana kemerdekaan
bukanlah kata mati yang diucapkan setiap tahun dalam upacara dan perlombaan. Zaman
yang bergerak ini harus disikapi oleh rakyat yang bergerak pula demi keadilan. Pengertian
kemerdekaan yang sekarang sempit harus diberi makna baru dan diperjuangkan lagi
bahwa rakyat yang hidup dalam republik bisa bebas dari kelaparan, ketakutan
serta perasaan was-was hilangnya lapangan pekerjaan. Kemerdekaan ini juga
menuntut kesadaran tiap warga republik yang didapat dengan syarat adanya ilmu
pengetahuan serta pendidikan. Begitu juga tentang jaminan kesehatan serta
pekerjaan yang diidamkan. Tidak seharusnya
jutaan rakyat republik ini dikirim ke negeri orang padahal di dalam
negeri sendiri menyimpan jutaan kekayaan alam hadiah dari Tuhan. Negara harus
menjamin bahwa segala kebutuhan dasar bisa dipenuhi oleh mereka yang telah
dipercaya menangani uang pajak. Pemerintah harus sgera insaf dari kebiasaan
mengkorupsi dan menghamburkan uang yang berasal dari pajak. Sudah saatnya kita
mengembalikan kedaulatan republik untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat di republik ini.
Rasanya tepat mengutip
pernyataan Tan Malaka seorang penggagas mula republik untuk menutup tulisan ini
bahwa “..kemiskinan yang terjadi saat ini
adalah karena kesalahan pemerintahannya yang menyebabkan rakyat semakin
terpuruk, sebuah negeri salah urus..!” maka solusinya sebagaiman dia
mencatat adalah republik ini harus merdeka
100 persen. Merdeka untuk menentukan nasib bangsanya sendiri. Merdeka atas
segala urusan ekonomi, politik dan budaya tanpa tekanan dari pihak manapun. Semoga!
Dan Dirgahayu Republik Indonesia.. !
* Dimuat di Harian Joglosemar 16 Agustus 2012
* Dimuat di Harian Joglosemar 16 Agustus 2012
Tags:
Aksi
aktivis
Anti globalisasi
artikel
diskursus
gerakan
globalisasi
hukum
indonesia
Kapitalisme
mahasiswa
menulis
merdeka
Neoliberalisme
pahlawan
wacana
0 comments