HMI Di Tengah Pergolakan Orde Lama*
gambar diambil dari http://sociopolitica.files.wordpress.com/2011/01/karikatur-mprs.jpg |
Sejak berdiri
di Sekolah Tinggi Islam pada 5 februari 1947 HMI, keberadaan organisasi
mahasiswa ini memberi perannya dalam mempertahankan republik. Beragam penolakan
datang dari organisasi di luar islam seperti PMY dan SMI yang berbeda ideologi
maupun dari organisasi islam sendiri seperti Masyumi[1].
Kehadiran HMI dianggap hanya akan memecah belah umat Islam karena telah berdiri
banyak organisasi Islam sebelum kemerdekaan dan kehadiran HMI sudah bisa
diwakili oleh organisasi islam yang sudah ada. Namun keteguhan Lafran Pane
untuk mempertahankan eksistensi HMI terbukti dengan disepakatinya HMI sebagai
satu-satunya organisasi mahasiswa Islam pada Kongres Umat Islam Indonesia II
(KUI II) di Yogyakarta tahun 1949[2].
Keistimewaan HMI selain sebagai organisasi mahasiswa islam pertama yaitu
keberadaannya yang sejak semula menyatakan independen dari kepentingan politik
manapun. Meski seringkali dianggap sebagai underbouw Masyumi namun kenyataan
ini dibantah oleh sejarah bahwa Masyumi sendiri sejak awal menolak kehadiran
HMI.
Tantangan HMI
selanjutnya adalah menyikapi pemberontakan Madiun pada tahun 1948. Tiga tahun
sejak berdirinya republik terjadi banyak pendapat mengenai berjalannya republik
terutama dari 3 ideologi besar yang saat itu eksis di masyarakat yaitu islam,
nasionalis dan golongan komunis. Pasca perjanjian Renville terjadi perpecahan
di masyarakat terutama mengenai isi perjanjian yang dianggap lebih
menguntungkan Belanda. Musso yang waktu itu menjadi pimpinan PKI sepulangnya
dari Soviet menyerukan untuk memberontak kepada pemerintahan Soekarno-Hatta.
Kontan pemberontakan ini dapat diredam dengan cepat setelah keluarnya
pengumuman presiden Soekarno kepada rakyat lewat siaran RRI “ pilih Soekarno
atau Musso ”. Keputusan ini diambil Soekarno mengingat masih mudanya usia republik maka
seharusnya rakyat bersatu terlebih dahulu untuk mempertahankan kemerdekaan di
bawah ancaman Agresi Militer oleh Sekutu. HMI sendiri tidak tinggal diam
melihat peristiwa tersebut. Dengan memperhatikan perkembangan yang terjadi di
masyarakat, mahasiswa yang tergabung di
HMI mendirikan Corps Mahasiswa untuk ikut membantu memadamkan pemberontakan
Madiun[3].
Pasca pemberontakan ini juga muncul pemberontakan DI/TII dipimpin Kartosuwiryo
yang menginginkan berdirinya negara islam di Indonesia yang kemudian juga
gagal.
Fase
berikutnya oleh HMI adalah fase konsolidasi internal setelah mengalami fase
pertempuran mempertahankan republik, baik melawan sekutu maupun bangsa sendiri.
Mengingat telah stabilnya kondisi republik, maka HMI lebih banyak
berkonsentrasi membina kader yang sudah ada dan mendirikan cabang-cabang baru
di seluruh Indonesia. Beberapa hal yang menjadi catatan di era ini adalah sikap
HMI menghadapi Pemilihan Umum yang pertama kali diadakan di Republik tahun 1955.
Ada beberapa rekomendasi yang dikeluarkan konferensi akbar HMI waktu itu yaitu:
(1) Menyerukan kepada khalayak ramai untuk memilih partai islam;(2) Menyerukan
kepada partai-partai islam untuk tidak saling menyerang;(3) Anggota HMI
diwajibkan aktif memilih salah satu partai islam yang disenanginya[4].
Dengan rekomendasi ini HMI semakin
memantapkan sebagai organisasi yang independen dari partai politik tertentu
namun jelas menetapkan islam sebagai Ideologinya.
Pasca Pemilu tahun 1955 republik memasuki era
demokrasi parlementer dimana dibentuk Majelis Konstituate yang bertugas
merumuskan isi Undang-Undang Dasar yang baru dan menetapkan dasar negara. Berkaitan dengan itu sikap HMI yang
diambil menarik untuk disimak. Meski
sejak awal menyatakan sebagai organisasi islam nasionalis, perdebatan ideologi
yang muncul di masyarakat memunculkan sikap HMI yang berbeda. Pada Kongres HMI
ke V di Medan HMI menyatakan keputusan kongres adalah menuntut Islam sebagai
dasar negara Indonesia dan komunis bertentangan dengan islam[5].
Era demokrasi parlementer disebut sebagai era paling demokratis hingga saat
ini, karena partai-partai dan organisasi masyarakat dilihat dan didukung
masyarakat bukan karena janji-janji pragmatis namun karena perbedaan ideologis
yang benar-benar dipraktekkan. Keputusan ini dapat dilihat sebagai pilihan yang
harus diambil HMI waktu itu sebagai organisasi mahasiswa islam untuk memperjuangkan
aspirasi umat islam, bukan untuk merongrong ideologi pancasila sebagaimana
dikatakan rival-rival HMI. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi islam yang
diusung HMI bisa saja berubah mengikuti perkembangan yang terjadi di
masyarakat. Apakah islam yang diusung HMI harus berbentuk negara formal atau
cukup nilainya saja sebagaimana didirikan pertama kali
Pasca
dibubarkannya parlemen pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno yang menilai
usaha Majelis Konstituante terlalu berlarut-larut maka dimulailah era demokrasi
terpimpin. Pergolakan politik di masyarakat pun semakin panas akibat tidak
selesainya pembahasan konstitusi di parlemen. Tidak kurang HMI juga terlibat dalam perang
ideologi ini. Akibat sikap yang diambil pada kongres Medan usaha pembubaran HMI terlihat dengan beberapa
kejadian seperti peristiwa Utrech (pelarangan HMI berdiri di FH UNIBRAW) dan pidato Aidit di harlah PKI yang menyatakan
dengan tegas ingin membubarkan HMI. Ketua Umum PB HMI saat itu, Dahlan R sempat
mengirim surat kepada presiden Soekarno yang mempunyai hubungan baik dengannya.
Hasilnya dapat dianggap sebagai kemenangan HMI karena presiden Soekarno menolak
pembubaran HMI seperti yang dituntut oleh golongan nasionalis dan komunis. Soekarno memberi syarat bahwa HMI harus
dibersihkan dari anggotanya yang Kontra Revolusioner, hal ini disanggupi oleh
Dahlan Ranuwiharjo yang dituliskan dalam bukunya “Mengapa Bung Karno Tidak
Membubarkan HMI?”
Sejarah Orde Lama
berakhir setelah peristiwa pemberontakan G30S. Disini saya mengambil sikap
untuk kemudian kita harus jeli dan obyektif melihat sejarah. Meski sebuah fakta
bahwa pembentukan Orde Baru dipelopori oleh berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI )yang notabene berisi petinggi HMI yang beraliansi dengan
organisasi pemuda, masyarakat dan laskar-laskar yang sehaluan. Namun ternyata
akibat sikap tersebut menghasilkan pemerintahan Orde Baru yang kita kenal
sebagai orde pembangunan namun ternyata juga penjahat kemanusiaan. Sikap obyektif yang dimaksud untuk memahami bahwa sejarah Orde Baru
sebenarnya penuh rekayasa. Apakah benar yang melakukan pemberontakan adalah
PKI? ataukah ini hanya kudeta militer? Atau jangan-jangan ini permainan Nekolim
sebagaimana diramalkan oleh Presiden Soekarno untuk memecah belah bangsa[6].
Kita harus menilik ulang literatur
sejarah kita yang selama ini hanya satu arah yaitu sejarah versi orde baru. Namun
pesan penting yang akan kita diskusikan bahwa HMI sejak berdiri hingga saat ini
tidak pernah mempertentangkan antara keindonesiaan dan keislamannya dan HMI
berdiri hingga sekarang karena Independensinya baik etis maupun organisatoris.
Tugas kita adalah merumuskan kembali dan memperjuangkan kemerdekaan republik
yang sejati. Beranikah kita ?
[1] Agussalim Sitompul -
Sejarah Perjuangan HMI hal 20
[2] Agussalim Sitompul –
Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia
hal 106
[3] Ibid hal 97, CM didirikan
oleh Ahmad Tirtosudiro untuk melawan Agresi Militer II
[4] Ibid hal 307
[5] Ibid hal 308
[6] Pasca Reformasi muncul
buku-buku sejarah versi lain dari tragedi G30S. Beberapa versi ini seperti
bahwa peristiwa tersebut dilakukan oleh kalangan Militer, Soekarno, Soeharto,
Aidit hingga PKI seperti yang banyak dipahami saat ini. Bacaan lebih lanjut
bisa melihat karya John Rossa – Dalih Pembunuhan Massal; Sukarno,
Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965 Kumpulan tulisan: Onghokham, dan lain-lain
Tags:
advokasi
Aksi
himpunan mahasiswa islam
HMI
indonesia
Intelektual
islam
komunis
nasionalisme
rakyat
revolusi
sejarah
wacana
0 comments