Reformasi Kepolisian (yang) Tertunda
Akar
kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian jika ditelusuri dapat ditinjau
dari tiga faktor yang mempengaruhi. Yang pertama adalah sejarah kepolisian
sendiri yang sejak rezim Orde Baru digabungkan dengan TNI. Corak militerisme dengan
disatukannya TNI dengan Polri sangat kental hingga sekarang, meskipun telah
dikeluarkan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menandai pemisahan
antara tugas POLRI dan TNI namun dalam prakteknya masih menemui banyak
hambatan. Polisi yang seharusnya melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat
seringkali menunjukkan sifat represifnya ketika berhadapan dengan aksi
demonstrasi rakyat sipil, padahal dalam negara demokrasi seperti di Inggris
atau Amerika Serikat, penanganan demonstrasi yang dilakukan aparat disana perlengkapan
yang digunakan adalah gas air mata,
cairan merica serta menggunakan mobil water canon jika memang massa sudah tidak
dapat dikendalikan lagi. Ini tentu berbeda dengan aparat kepolisian kita yang seringkali
menggunakan peluru karet bahkan peluru tajam ketika penanganan aksi demonstrasi
apalagi setelah disahkannya Protap Kapolri no 1 tahun 2010, seakan menjadi
legitimasi polisi untuk melakukan hal tersebut. Yang kedua adalah sistem
recruitment aparat kepolisian yang masih banyak kekurangan. Untuk menjadi
seorang polisi yang berada di garis depan syarat pendidikannya adalah setingkat
dengan SMA, meski dibekali pendidikan selama 3-6 bulan di institusi kepolisian,
namun dengan jangka waktu yang sesingkat itu tentu sangat kurang dibandingkan dengan
materi pemahaman HAM dan demokrasi saja yang seharusnya diketahui polisi. Untuk
tingkat perwira yang mensyaratkan sarjana pun kondisinya masih jauh dari ideal.
Aroma korupsi ketika akan mendaftar sekolah perwira adalah rahasia umum yang
diketahui masyarakat. Hasilnya tak jauh beda pula, adanya isu rekening gendut para
perwira Polri yang terjadi awal tahun kemarin mengisyaratkan bahwa perlu
reformasi yang menyeluruh di tubuh kepolisian, terutama sistem pendidikannya.
Yang ketiga adalah masalah kesejahteraan polisi. Selama Era Reformasi meski
terjadi peningkatan anggaran di bidang Hankam namun tidak terasa dampaknya
hingga aparat keamanan yang paling bawah. Kondisi aparat kepolisian dengan gaji
yang pas-pasan memenuhi kebutuhan keluarganya menjadikan efek psikologi banyak
oknum aparat meluapkan emosinya ketika bertugas di lapangan . Menjadi tidak
heran ketika polisi ditenggarai menerima uang “jasa keamanan” dari
perusahaan-perusahaan multinasional untuk memenuhi kesejahteraannya. Ini tentu
sangat berbahaya karena seharusnya polisi bersikap netral, tidak di bawah
pengaruh modal perusahaan manapun supaya tidak terjadi konflik kepentingan
ketika berhadapan dengan masyarakat.
.
Sebagaimana cita-cita reformasi yang salah satunya adalah menuju Indonesia yang
demokratis serta berkeadilan, reformasi institusi kepolisian adalah kewajiban
bagi setiap warga negara untuk terus memperjuangkannya termasuk reformasi dari
tubuh kepolisian sendiri. Hal ini juga harus diimbangi oleh keinginan
pemerintah dengan memperkuat peran serta wewenang Komisi Kepolisian yang selama
ini belum bisa dirasakan keberadaannya untuk mereformasi institusi kepolisian
secara menyeluruh. Semoga jargon polisi yaitu melindungi, melayani dan
mengayomi masyarakat dapat terwujud dalam waktu dekat ini.
0 comments