SUMPAH PEMUDA DENGAN PEMUDI (diskursus peran perempuan)
" Sains (pengetahuan) tidak lain hanya permainan, .."
begitu ucap Lyotard seorang filsuf posmodern asal prancis ketika
ditanya tentang klaim universal sains. Di abad ini ketika kemasan lebih
menarik daripada isi, simulasi lebih nyata daripada kenyataan dan hasil
lebih bernilai daripada proses, Kita tak bisa lagi memakai teori modern
di tengah masyarakat yang selalu bergerak. Kita ambil teori Marx tentang
kelas yang menggambarkan masyarakat adalah hasil konflik 2 kubu antara
buruh dan pengusaha tentu akan tidak relevan ketika buruh sekarang
mempunyai warung serta pengusaha memilih menjauh dari negara untuk
mengamankan kepentingannya. Tidak ada lagi perang pemikiran seperti
dibayangkan filsuf modern yang percaya jawaban universal atas tiap
masalah manusia, yang ada hanyalah perang pernyataan. Setiap orang bisa
mempengaruhi, menyangkal dan menerima pendapat orang lain tanpa melihat
apakah dia ilmuwan atau pengamen jalanan. Contoh paling mudah untuk
menggambarkan hal diatas adalah media internet yang sering kita gunakan.
Di dunia yang bergerak tiap orang berhak untuk menyatakan pendapatnya
hanya dari genggaman tangan. Entah disadari atau tidak tiap orang yang
membacanya akan menjawab pernyataan tersebut (meski hanya dalam
pikiran).
Pengantar Lyotard di atas tampak tepat untuk menyambut sumpah pemuda ini. Sumpah Pemuda ditandai dengan pernyataan yang diucapkan bersama sebelum kemerdekaan. Setiap tahun sumpah ini terus diulang, dirayakan serta dikeramatkan. Metanarasi sumpah pemuda yang kita terima selalu sama, dengan klaim universal ini adalah hasil bersama demi persatuan, rasional dan bertujuan kesejahteraan sehingga harus dipertahankan. Sakralisasi ini diisi dengan aksi, diskusi hingga malam renungan. Kontradiksi dengan yang ditulis dalam teks, keadaan yang diidamkan justru bertolak belakang. Jika Sumpah Pemuda adalah klaim bersatunya pemuda bangsa maka disitu tak akan ada perubahan berarti untuk menjawab perpecahan yang terjadi sekarang ini. Karena bersandar pada narasi besar, sumpah pemuda alih alih memberi inspirasi, sumpah pemuda justru membatasi pemaknaan ulang atasnya. Padahal untuk membuktikan suatu pernyataan menurut Lyotard harus dibuktikan dari kesesuaiannya dengan kenyataan. 83 tahun berjalan ritual sumpah pemuda juga gagal memunculkan peran perempuan dalam menjalin persatuan.
Pemaknaan ulang atas sumpah pemuda menurut penulis harus dimunculkan adalah tentang peran perempuan dalam proses perjalanan bangsa termasuk sumpah pemuda. Mengapa? Karena dari tiap narasi sejarah sumpah pemuda jarang sekali dibicarakan peran perempuan. Padahal jika perubahan sosial ingin dimunculkan, seperti yang dikatakan Foucault kita bisa memulai dari melihat tafsir yang dipinggirkan, karena kekuasaan bagi Foucault tidak terpusat namun terpencar-pencar. Teks tentang perempuan selama ini hanya muncul menjadi pendukung bagi narasi laki-laki, meski mereka punya gagasan yang seringkali justru memicu perubahan. Apakah benar perempuan saat itu diam terbungkam di arena kongres? Hasil teks sejarah yang kemudian muncul adalah teks-teks yang menafikkan perempuan. Sumpah pemuda menjadi dominan milik laki laki (meski ada kata pemudi disana). Tentu term ini menarik dibicarakan, apalagi ketika mampu memberi pemaknaan yang lain atas sumpah pemuda. Perempuan tidak lagi menjadi obyek perubahan namun harus muncul sebagai subyek untuk perubahan. Pemunculan tafsir perempuan dalam sumpah pemuda harus juga melihat proses ini tidak dipaksakan tapi untuk kesadaran memunculkan yang lain (the others). Erich Fromm dalam analisisnya tentang perempuan menuturkan adanya perbedaan ketika suatu teks ditafsirkan oleh perempuan. Tidak hanya bicara tentang kejantanan, kekuasaan dan penaklukan alam, tafsir perempuan menghadirkan diskursus tentang kasih sayang, kelembutan dan penghargaan terhadap alam. Narasi yang dibangun adalah narasi kecil dari sebuah tatanan keluarga yang menghargai perbedaan serta penuh kejutan untuk menggoyahkan narasi yang telah mapan. Sekali lagi jika ini dimunculkan, maka sumpah pemuda akan kembali memiliki makna yang memicu perubahan khususnya gerakan perempuan. Dus sumpah pemuda sekarang bisa jadi milik perempuan di masa depan
Aldian Andrew Wirawan (pecinta perempuan dan gerakannya )
Pengantar Lyotard di atas tampak tepat untuk menyambut sumpah pemuda ini. Sumpah Pemuda ditandai dengan pernyataan yang diucapkan bersama sebelum kemerdekaan. Setiap tahun sumpah ini terus diulang, dirayakan serta dikeramatkan. Metanarasi sumpah pemuda yang kita terima selalu sama, dengan klaim universal ini adalah hasil bersama demi persatuan, rasional dan bertujuan kesejahteraan sehingga harus dipertahankan. Sakralisasi ini diisi dengan aksi, diskusi hingga malam renungan. Kontradiksi dengan yang ditulis dalam teks, keadaan yang diidamkan justru bertolak belakang. Jika Sumpah Pemuda adalah klaim bersatunya pemuda bangsa maka disitu tak akan ada perubahan berarti untuk menjawab perpecahan yang terjadi sekarang ini. Karena bersandar pada narasi besar, sumpah pemuda alih alih memberi inspirasi, sumpah pemuda justru membatasi pemaknaan ulang atasnya. Padahal untuk membuktikan suatu pernyataan menurut Lyotard harus dibuktikan dari kesesuaiannya dengan kenyataan. 83 tahun berjalan ritual sumpah pemuda juga gagal memunculkan peran perempuan dalam menjalin persatuan.
Pemaknaan ulang atas sumpah pemuda menurut penulis harus dimunculkan adalah tentang peran perempuan dalam proses perjalanan bangsa termasuk sumpah pemuda. Mengapa? Karena dari tiap narasi sejarah sumpah pemuda jarang sekali dibicarakan peran perempuan. Padahal jika perubahan sosial ingin dimunculkan, seperti yang dikatakan Foucault kita bisa memulai dari melihat tafsir yang dipinggirkan, karena kekuasaan bagi Foucault tidak terpusat namun terpencar-pencar. Teks tentang perempuan selama ini hanya muncul menjadi pendukung bagi narasi laki-laki, meski mereka punya gagasan yang seringkali justru memicu perubahan. Apakah benar perempuan saat itu diam terbungkam di arena kongres? Hasil teks sejarah yang kemudian muncul adalah teks-teks yang menafikkan perempuan. Sumpah pemuda menjadi dominan milik laki laki (meski ada kata pemudi disana). Tentu term ini menarik dibicarakan, apalagi ketika mampu memberi pemaknaan yang lain atas sumpah pemuda. Perempuan tidak lagi menjadi obyek perubahan namun harus muncul sebagai subyek untuk perubahan. Pemunculan tafsir perempuan dalam sumpah pemuda harus juga melihat proses ini tidak dipaksakan tapi untuk kesadaran memunculkan yang lain (the others). Erich Fromm dalam analisisnya tentang perempuan menuturkan adanya perbedaan ketika suatu teks ditafsirkan oleh perempuan. Tidak hanya bicara tentang kejantanan, kekuasaan dan penaklukan alam, tafsir perempuan menghadirkan diskursus tentang kasih sayang, kelembutan dan penghargaan terhadap alam. Narasi yang dibangun adalah narasi kecil dari sebuah tatanan keluarga yang menghargai perbedaan serta penuh kejutan untuk menggoyahkan narasi yang telah mapan. Sekali lagi jika ini dimunculkan, maka sumpah pemuda akan kembali memiliki makna yang memicu perubahan khususnya gerakan perempuan. Dus sumpah pemuda sekarang bisa jadi milik perempuan di masa depan
Aldian Andrew Wirawan (pecinta perempuan dan gerakannya )
3 comments
Tafsir sumpah pemuda selama ini selalu misogonis ya Di?
ReplyDeletePerpendek paragrafnya dong, biar bacanya lebih enak.
kalo misoginis diartikan melecehkan perempuan ga siy mas tapi jarang sekali tafsir perempuan di indonesia ini ditampilkan. iya mas baru belajar nulis soalnya hehehe
ReplyDeletehahahaa...
ReplyDeleteorang-orang modern, salah satu cirinya dengan menykai hal-hal yang praktis...
ini kongkrit...
tinggal posisi kita dimana, tetap menjadi orang yang mencari ikan dengan segala prosesnya (mancing njraring dll)...atau tinggal beli ikan di super market..??