Membela Gerakan Mahasiswa (dimuat di harian Joglosemar 30/3/2012)
Judul
itu saya ambil karena saat ini banyak sekali perbincangan mengenai aksi
demonstrasi yang dilakukan mahasiswa apalagi arahannya selalu dikaitkan
kericuhan serta efektifitas aksi jalanan yang dilakukan mahasiswa. Jika melihat
landasannya dalam konstitusi kita sudah jelas bahwa menyampaikan pendapat
adalah hak asasi yang dilindungi Negara dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang berbunyi setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Juga ditambahkan dengan pasal 28F yang berbunyi
setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain
itu untuk unjuk rasa sendiri juga diatur dengan UU Nomer 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Dasar hukum inilah yang menjadi landasan
ketika masyarakat dan mahasiwa melakukan aksi demonstrasi
Berbicara
tentang aksi demonstrasi sendiri bukanlah aktivitas yang baru saja ada di
republik ini. Melihat sejarahnya aksi demonstrasi telah ada pada tahun 1920
oleh Serikat Buruh Kereta Api yang menuntut kenaikan gaji mereka kepada pihak Belanda.
Aksi demonstrasi kerap dilakukan oleh pegawai-pegawai yang bekerja pada pemerintahan
dan perusahaan Belanda. Hal ini berlanjut hingga munculnya gerakan pemuda dan mahasiswa
yang diidentikkan dengan kelas menengah baru dan organisasi pergerakan
nasional pada tahun 1930-1945 yang aktif menyuarakan kemerdekaan nasional
lewat demonstrasi dan rapat-rapat raksasa yang digelar di berbagai kota di
Indonesia. Tan Malaka seorang pahlawan nasional menulis buku tentang Massa Aksi
pada tahun 1926 yang berisi pedoman
untuk rakyat yang sedang mengorganisir dirinya untuk mendapatkan kemerdekaan.
Tak hanya itu paska kemerdekaan republik Indonesia aksi demonstrasi sering dilakukan
oleh rakyat, mahasiswa dan partai politik untuk mendukung atau menolak
kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Orde Lama pada periode 1950-1965. Aksi demonstrasi
sempat meredup di era Orde Baru karena dikeluarkannya beberapa kebijakan yang
melarang aktivitas politik masyarakat khususnya mahasiswa dalam menentang
kebijakan pemerintah kecuali lewat jalur resmi (partai politik dan media yang
disensor ketat).
Dikeluarkannya
kebijakan NKK/BKK di kampus-kampus pada tahun 1978 membuat mahasiswa diharuskan
kreatif dengan mengkritik pemerintah lewat cara lain. Mahasiswa mendirikan lembaga
pers kampus, menyelenggarakan diskusi dan kelompok studi serta melatih
kepemimpinan dalam organisasi internal dengan kampus sebagai laboratoriumnya. Meski
bukan aksi turun ke jalan secara langsung namun semangat pembelaan mahasiswa
untuk kepentingan rakyat dari mahasiswa dapat terlihat di periode 1990-1997
dalam kasus-kasus seperti Kedungombo, penghapusan SBSB, dan terakhir yang
paling dekat adalah gerakan mahasiswa 1998 yang berperan besar memimpin
masyarakat pada penjatuhan rezim Orde Baru setelah bertahan berkuasa selama 32
Tahun
Pasca
runtuhnya orde baru, aksi demonstrasi mahasiswa sering dikritik karena berujung
ricuh dan membuat macet jalan serta tidak efektif lagi di tengah keran demokrasi
yang dibuka bebas. Apakah benar aksi demonstrasi mahasiswa memang dirancang
ricuh untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat? Jika melihat proses dan
substansinya aksi demonstrasi mahasiswa tentu tidak sembarangan untuk
menurunkan massa ke jalan. Aksi
demonstrasi dilakukan ketika sudah tidak ada lagi alternatif masyarakat untuk
menyuarakan aspirasi. Tersumbatnya keran-keran aspirasi dapat kita lihat dari
perjalanan demokrasi pasca reformasi. Partai-partai bermunculan namun hanya
menyibukkan diri dengan kekuasaan dan pencitraan, ditambah pula kerja-kerja
pemerintah yang tidak optimal mengakibatkan kesejahteraan masyarakarat justru
menjauh dari yang diamanatkan oleh semangat reformasi. Ini terbukti dengan
kebijakan liberalisasi sektor-sektor publik menjadi milik swasta, deregulasi
aturan yang memberi peluang sebesar-besarnya untuk korporasi asing yang
mematikan sektor industri dalam negeri serta tidak tegasnya pemerintah
memberantas korupsi menggambarkan aspirasi masyarakat untuk dilibatkan dalam
pengambilan kebijakan seringkali terhambat ketika melalui jalur politik resmi. Dengan
alasan itulah aksi mahasiswa turun ke jalan tetap ada meskipun berkurang
intensitasnya di era reformasi. Bagi mahasiswa aksi demonstrasi merupakan cara yang efektif untuk menyuarakan
kepentingan masyarakat ketika komunikasi politik dihambat seperti dijelaskan di
atas.
Untuk
proses diskusi tentang isu yang akan didemonstrasikan mahasiswa idealnya melalui
tahapan perdebatan yang panjang dan mengakar dan diangkat dalam rangkaian diskusi.
Berbagai teori, analisis, wacana serta opini selalu dibahas matang dan
demokratis, seringkali pula mengundang pembicara yang berkompeten pada pembahasan
isu tersebut untuk mempertajam analisis selain dari mahasiswa sendiri. Belum
lagi merumuskan tuntutan yang akan dibawa mahasiswa, jika selama ini masyarakat
hanya melihat bentuk jadinya entah itu spanduk, poster atau selebaran yang
dibawa mahasiswa saat aksi sebenarnya ada proses panjang agar tuntutan aksi
mahasiswa tetap independen dan berpihak pada kepentingan masyarakat banyak
bukan pada kepentingan politik tertentu.
Proses
berikutnya adalah menyiapkan perangkat dan settingan aksi. Disini perangkat aksi meliputi megafon, spanduk, poster,
bendera, pita (jika diperlukan) dan selebaran yang akan dibagikan kepada
masyarakat umum, wartawan serta aparat keamanan. Untuk settingan aksi sendiri
berisi mengenai teknis berjalannya aksi yang meliputi jumlah peserta, rute
aksi, jalur evakuasi ketika terjadi bentrok, sasaran aksi serta target aksi.
Bicara tentang setting aksi juga tidak
lepas dari tuntutan yang dibawa, disini juga menentukan siapa kordinator
lapangan, orator, agitator,negosiator, humas, tim keamanan serta dan notulen
yang bertugas masing-masing untuk memperlancar berjalannya aksi. Semua
direncanakan hingga kemungkinan terburuk yang akan terjadi ketika aksi. Tidak
berhenti sampai disitu dalam setting aksi terdapat beberapa skenario pasca aksi
berisi evaluasi dari berjalannya aksi serta lanjutan dari aksi demonstrasi.
Jika
kemudian di lokasi aksi terjadi bentrok atau kericuhan seperti yang diberitakan
media akhir-akhir ini maka seharusnya masyarakat mengetahui bahwa meski aksi
demonstrasi direncanakan dengan matang, kondisi psikologis dan strategi massa aksi
dapat berubah dalam hitungan menit. Spontanitas massa aksi dengan reaksi
masyarakat terhadap berjalannya aksi, orasi yang memanas serta intimidasi dari pihak
aparat keamanan seringkali ditemui pada saat berlangsungnya aksi. Ada
kesengajaan dari aparat untuk menyusup ke dalam aksi demonstrasi untuk
memanaskan suasana dan kemudian jika terjadi kericuhan maka dengan alasan
mengganggu ketertiban umum maka aksi demonstrasi dapat dibubarkan oleh aparat dengan
cara represif. Hal inilah yang seringkali luput dari perhatian media dan
membentuk opini masyarakat yang buruk tentang aksi demonstrasi mahasiswa.
Dari
uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aksi demonstrasi mahasiswa
haruslah dipahami sebagai aksi yang murni menyampaikan aspirasi masyarakat. Selama
masih ada kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat serta
ditutupnya pintu-pintu dialog dengan masyarakat maka aksi demonstrasi mahasiswa
adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan berdemokrasi. Akhir kata mengutip
kata- kata Soe Hok Gie aktivis mahasiswa tahun 1966 bahwa kemewahan terakhir
yang dimiliki pemuda adalah idealisme. Hidup Gerakan Mahasiswa, Hidup Rakyat !
Referensi
-
UUD Republik Indonesia 1945 Amandemen ke
4
-
UU Nomer 9 tahun 1998
-
Aksi
Massa, Tan Malaka (1926)
-
Zaman
Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926, Takashi
Shiraisi (1990)
-
Skripsi Febrie Hastyanto “Mahasiswa Solo Bergerak (studi deskriptif
kualitatif terhadap karakteristik dan pola gerak Gerakan Mahasiswa Kota Solo
1998”, UNS, (2005)
Tags:
advokasi
Aksi
aktivis
artikel
Demonstrasi
HAM
HMI
indonesia
Intelektual
kampus
kepolisian
palringo
rakyat
reformasi
revolusi
0 comments