Batalkan Kenaikan harga BBM : Pemerintahan Gagal Masyarakat yang disalahkan?


Palu sudah diketuk, harga BBM resmi dinaikkan. Meski menemui jalan yang panjang, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil ini diumumkan berlaku mulai Sabtu 23 Juni 2013. Di jalanan mahasiswa yang menyuarakan kepedihan rakyat kecil tidak berhenti melakukan aksi menentang kebijakan tersebut. Tindakan unjuk rasa ini justru dibalas oleh aparat dengan tindakan kekerasan serta berlebihan dalam menangani unjuk rasa, seperti  yang terjadi di Jakarta, Ternate, Medan dan berbagai kota lainnya. Antrian konsumen BBM sebelum harga dinaikkan dengan mudah ditemukan di berbagai kota menunjukkan kepanikan yang melanda warga masyarakat.

Merujuk sejarahnya kenaikan harga BBM sudah berulang kali dilakukan pemerintah, baik di era orde baru hingga reformasi ini. Tercatat hampir semua presiden di Indonesia pernah melakukan kebijakkan menaikkan harga BBM dengan argumen bermacam-macam seperti harga minyak dunia yang melambung, mencegah penyelundupan ke luar negeri, mengalihkan subsidi kepada yang seharusnya dan yang terakhir dipakai adalah APBN kita yang tidak kuat menahan beban jika subsidi terus diberikan. Logiskah pernyataan pemerintah itu? Mari kita lihat fakta yang ada.

Saat ini di dalam APBN-P besaran subdidi BBM di APBN 2013 hanya Rp Rp193,8 triliun atau sekitar 12% dari total APBN. Faktanya, yang membebani APBN adalah utang dan pemborosan APBN. Tahun 2013 pembayaran bunga utang sebesar Rp. 113,2 triliun dan pokoknya Rp. 58, 4 triliun dan Surat Utang Negara yang jatuh tempo tahun 2013 sebesar Rp. 71 triliun sehingga totalnya Rp 241 triliun atau 21 % dari belanja APBN, padahal sebagian besar utang itu hanya dinikmati oleh segelintir orang. Jika kita ingat utang luar negeri tersebut dahulu digunakan untuk pengusaha pengusaha yang terkena krisis ekonomi sebelum datangnya reformasi, yang ironis sebagian besar utang tersebut tidak sampai pada tujuan sebenarnya melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi (Kasus BLBI yang merugikan negara sebesar 600 T sebagai contoh, saat ini proses penyidikannya tidak kunjung selesai)

Di sisi lain argumen pemerintah yang mengatakanbahwa dana untuk memberi subsidi BBM lebih baik digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Jika begitu alasannya kita harus mempertanyakan bagaimana sebenarnya manajemen anggaran dalam APBN yang dibuat sendiri oleh pemerintah?  Jikapun selama ini pemerintah konsisten dengan perbaikan infrastuktur sudah seharusnya sektor infrastruktur ini bukan lagi masalah dan lapangan kerja terbuka lebar. Namun faktanya dalam dua periode pemerintahan SBY tidak ada kemajuan di bidang infrastruktur, ini bisa dibuktikan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa tenaga kerja kita masih didominasi oleh tenaga non formal yang jumlahnya mencapai 80 persen. Lantas apa hasilnya dari janji Pemerintah SBY yang saat itu juga berkuasa dengan kenyataan infrastruktur saat ini tidak berubah banyak. Kemana larinya uang rakyat hasil dari kenaikan harga BBM pada tahun 2008 lalu?

Efek kenaikan BBM tidak hanya berimbas pada sektor transportasi. Seperti kita ketahui bersama jalur distribusi sembako yang selama ini ada di Indonesia didominasi oleh kendaraan darat dimana volumenya terus meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan harga solar yang disubsidi mencapai Rp 1000 tentu memicu harga makanan akan naik pula, efek domino ini bahkan terasa sebelum harga BBM resmi dinaikkan (Joglosemar, Kamis (20/6) . Kenaikan harga ini semakin diperparah oleh ulah spekulan yang memainkan harga tanpa pernah terjamah oleh aparat keamanan. Minimnya pengawasan serta ketiadaan dalam mengawal kebijakan harga pangan menjadikan kesengsaraan rakyat kian bertambah.

Dari solusi kenaikan harga BBM bersubsidi pemerintah menjanjikan Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 300.000/kepala keluarga kepada 15,7 juta warga miskin. Belajar dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu nampaknya tidak diingat oleh pemerintah. Ricuhnya pembagian BLT, besarnya pemotongan yang diterima masyarakat hingga melahirkan konflik di tingkat akar rumput akibat kesalahan data bisa jadi terulang kembali di tahun ini. Padahal solusi BLSM yang akan diberikan selama 4 bulan ini bukanlah kebijakan yang cerdas mengingat belum beresnya data yang dipunyai pemerintah. Simpang siur pemberian BLSM ini justru akan membuat dana yang begitu besar rawan dikorupsi. Dari awal kebijakan BLSM ini digulirkan sudah banyak pejabat di daerah yang menolak untuk diberi tanggung jawab menyalurkan bantuan. Lantas apakah ada jaminan dari pemerintah BLSM ini akan mengurangi penderitaan rakyat? Sebagai gambaran jika jumlah BLSM sebesar Rp 300.000 itu dibagikan per bulan maka sebenarnya setiap hari warga yang mendapat BLSM hanya mendapat bantuan Rp 1000 per hari saja. Tentu ini tidak sebanding dengan kenaikan harga pangan yang meroket menjelang lebaran. Alih-alih memberi bantuan, kebijakan pemerintah ini terkesan dibuat hanya untuk menyelamatkan citranya saja.

Dengan berbagai argumen yang telah terbantah lantas mengapa pemerintah tetap nekat menaikkan harga BBM? Menurut penulis hal ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan asing yang ingin harga BBM di Indonesia sama dengan negara lain agar harganya tetap kompetitif. Tekanan dari pihak asing ini dapat dilihat dari berbagai pihak terutama perusahaan multinasional lewat Bank Dunia dan WTO yang ingin menancapkan kukunya di sektor hilir minyak bumi dan gas di Indonesia. Tercatat hampir 80 persen perusahaan minyak bumi dan gas sudah berdiri tegak di sektor hulu mengisap kekayaan bumi Indonesia dengan harga yang murah. Sektor  hilir tentu menjadi target berikutnya mengingat selama ini hanya dimonopoli oleh pemerintah lewat Pertamina.

Dari data di situs Bank Dunia menyebutkan secara eksplisit bahwa utang luar negeri Indonesia diberikan dengan beberapa syarat salah satunya adalah penyesuaian harga BBM dengan harga di tingkat dunia. “There is no free lunch” begitulah pepatah yang sering didengungkan, negara yang seharusnya berdaulat atas kebijakan yang dibuatnya dibuat melempem oleh lembaga donor asing yang mempunyai kepentingan laba. Hal yang lebih menyedihkan adalah pemerintah kita seolah lupa bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan hak yang seharusnya dimiliki oleh rakyat (dalam hal ini subsidi BBM) bukan bantuan seolah pemerintah menggunakan uang pribadinya untuk menolong rakyat. Nampaknya kita perlu menengok negara lain yang berani menolak membayar hutang ketika kepentingan masyarakat banyak lebih diutamakan seperti yang terjadi di Argentina.

Sebagai penutup, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM haruslah dibatalkan karena jelas bertentangan dengan konstitusi serta menyengsarakan kehidupan rakyat banyak. Meningkatnya jumlah pengganguran dan macetnya perekonomian bisa menimbulkan gejolak ketidakpuasan masyarakat yang lebih besar. Pemerintah seharusnya berani melakukan hal yang mendasar untuk menghindari harga BBM naik seperti nasionalisasi tambang-tambang asing dengan kontrak baru yang lebih menguntungkan Indonesia, mencegah kebocoran APBN yang jumlahnya hampir 20 % dengan langkah manajemen anggaran yang efektif serta berani mengusir perusahaan asing yang tidak memenuhi lifting minyak hingga kebutuhan minyak dalam negeri selalu terpenuhi. Hidup Rakyat Hidup Mahasiswa !

Share:

1 comments