Senja di Museum Bahari Jakarta

Toko Merah Kota Tua Jakarta
Halo menulis lagi saya mumpung belum banyak yang lupa. Jadi kemarin ceritanya muter-muter Kota Tua karena waktu kesana sebelumnya masih banyak spot-spot yang membuat saya penasaran. Nah karena kebetulan sedang di Jakarta saya kembali ke Kota Tuanya sembari berolahraga alias jalan kaki di teriknya Jakarta..

Yups wisata Kota Tua Jakarta bukan sekedar di sekitaran Museum Fatahillah melainkan masih banyak tempat yang bisa dijelajahi (yang jarang ditulis) hingga paling ujung kota tua kita bisa melihat laut utara Jawa tepatepa di bekas pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini sempat berjaya di abad 16 namjn meredup sesudah dibukanya pelabuhan Tanjung Priok.

Saya memulai perjalanan dari Jakarta pukul 12 siang bersama kawan saya Refi. Seperti biasa saya menuju Kota Tua menumpang komuter yang tidak terlalu padat penumpangnya di hari kerja, asal waktu naiknya tepat yaitu siang hari. Setelah satu jam perjalanan, sampailah saya di Stasiun Kota. Tujuan utama saya adalah Toko Merah yang usianya sangat tua dan terletak tidak jauh dari stasiun.
Mengintip Toko Merah

Dari sejarahnya Toko Merah dibangun oleh Van Imhoff pada tahun 1730 sebagai rumah pribadinya. Si Imhoff sendiri melambung namanya karena dia orang yang mebangunm rumah peristirahatan yang sekarang menjadi Istana Bogor. Toko Merah juga pernah menjadi sekolah sekaligus asrama angkatan laut Belanda sebelum dijadikan rumah oleh para gubernur Jenderal Hindia Belanda setelahnya.

Nama Toko Merah dikenal setelah bangunan ini dibeli oleh seorang Kapitan Cina Batavia dan mencat merah seluruh temboknya. Bangunan ini sendiri waktu itu digunakan sang Kapitan sebagai rumah tinggal dan toko. Nah sekarang ini saya tidak tahu fungsinya apa sebab saat kemarin saya mengintip ke dalam, bangunan ini sedang dalam proses renovasi dan tidak ada orang yang bisa ditanyai.

Dari sini kalo diamati dengan seksama tetangga-tetangganya juga merupakan bangunan tua, sebagian masih digunakan sebagian lagi diabaikan begitu saja. Bangunan tua lain yang menarik perhatian saya adalah keberadaan hotel tak berbintang yang menempati bangunan tua di situ. Asik mungkin sesekali menginap di situ sambil menjelajah Kota Tua seharian jadi tidak capek bolak balik ke Bogor hehehe...
Barisan Gedung Tua

Puas mengambil foto saya dan Refi melanjutkan jalan-jalan ke Museum Bahari. Berbekal Google Maps dan papan petunjuk di jalan hasilnya adalah kesasar lumayan jauh haha. Bukan kali ini sebetulnya Google Maps membuat saya kesal sebab jalan yang dipilih di peta digital tersebut adalah jalan yang tidak macet untuk mobil bukan jalan tercepat, tapi hikmahnya saya malah bisa menjelajah ke jalan-jalan kecil di kawasan Kota Tua ini.

Setelah jalan cukup lama hati ini menjadi tenang begitu melihat bangunan tua khas Belanda yang sekarang dijadikan restoran. Wah ini pasti sudah dekat kata saya melihat bangunan tersebut memakai nama VOC di temboknya. Benar saja sehabis melepas penat sambil minum es di warung, menara yang ditunjukkan di peta terlihat.

Sejarahnya Menara yang dikenal dengan nama Menara Syahbandar ini sudah berdiri sejak tahun 1839 dan sekarang berdiri tegap di tengah riunya kendaraan berat yang melintas di depannya. Konon kawasan di sekitar museum ini tadinya berdiri kastil-kastil macam di film serial Game Of Thrones hahaha... dan menara ini salah satu yang tersisa sedangkan benteng-bentengnya sudah hilang ditelan zaman.
Menara Syahbandar Jakarta

Saya pikir tadinya Museum Bahari ya cuma menaranya saja, tapi setelah bertanya kepada satpam ternyata lokasi museumnya berada di bagian belakang menara tersebut yang menempati gudang rempah peninggalan penjajah. Setelah membayar tiket masuk seharga 5 ribu rupiah sampailah saya di dalamnya.

Di museum ini saya dibuat melamun sejenak karena ketenangan yang dihadirkannya. Meskipun di luar deru klakson kendaraan tak berhenti melintas, tapi di dalam museum ini suaranya tak terdengar sama sekali. Belum lagi tidak ada rombongan piknik kesini jadi serasa museum ini milik saya pribadi dengan para petugas penjaganya hahaha....

Museum Bahari sendiri menyajikan berbagai macam koleksi yang menarik menurut saya, apalagi tempatnya di bangunan tua dengan kayu-kayu penyangga yang besar di atap dan pondasi temboknya. Di dalam kita bisa melihat cerita tentang kolonialisme dipampang di tembok lengkap dengan replika berbagai macam kapal dan perahu, sejak jaman Borobudur hingga sekarang.
Di Dalam Museum Bahari

Tidak berhenti di koleksi barang namun ada juga patung patung yang menceritakan berbagai hal tentang mitos laut Indonesia, juga cerita para pelaut sekaligus pedagang yang dulunya berdatangan ke Sunda Kelapa. Saya tidak sempat banyak baca tulisannya, yang jelas tidak rugi dengan harga tiket semurah itu.

Pusing berkeliling museum saya dan Refi  mengunjungi perpustakaan yang terletak di lantai 2. Lagi-lagi di sini melemaskan kaki sambil membaca buku tentang kota Jakarta. Setelah hampir 1 jam di perpustakaan kami memutuskan untuk balik ke menaranya.

Nah akhirnya sampai di menara pandangnya. Dari atas sini terlihat jelas pelabuhan Sunda Kelapa yang isinya sekarang hanya kapal-kapal kecil bersandar di pelabuhan. Kita juga bisa melihat bekas gudang VOC yang hampir hancur diterpa rob beserta bendungan yang sedamg dalam proses renovasi dan gedung-gedung modern di mengepung kawasan ini.
Pemandangan Dari Atas Menara

Pengalaman unik saya di atas menara ini adalah menaranya kadang ikut bergoyang saat ada kendaraan besar yang melintas di bawah, dan ini serius bikin sport jantung. Kalo tidak percaya coba sendiri ke atas menara dan tunggu beberapa saat hingga menaranya bergoyang hahaha... Saya berharap semoga saja menara ini bisa bertahan asal terus dirawat oleh pemerintah.

Hari sudah sangat sore saat saya kembali ke Lapangan Fatahillah untuk mengisi perut yang keroncongan. Rencana saya sebetulnya ingin melihat pameran foto yang diselenggarakan Erasmus Huis tentang tata kota Hindia Belanda, namun sayangnya batal sebab hanya dibuka hingga pukul 18.00 saja. Sebagai gantinya saya mengunjungi pameran seni di Kantor Pos Kota Tua Jakarta, senang juga siy sebab bisa melihat dalam gedung ini seperti apa karena dulu-dulu belum sempat.

Sebagai penutup, sebelum pulang saya Refi minum es kopi di minimarket tepat di sebelah gedung Tjipta Niaga, tempat berlokasinya pameran. Berulang kali kesini sepertinya tidak pernah puas menjelajah kawasan Kota Tua. Semoga lain kali bisa menjelajah ke Oud Batavia ini lagi.


Beberapa referensi yang bisa dibaca buat bekal jalan ke Kota Tua
Toko Merah
Bangunan Kolonial di Jakarta
Novel Arus Balik nya Pramoedya untuk membayangkan fungsi menara pelabuhan di zaman dulu.

Share:

0 comments