Gerakan Anti globalisasi: Saat Kapitalisme dipertanyakan

“Duduki dulu tuntutan belakangan...!!”
            Begitu bunyi salah satu poster yang tertulis pada poster seorang aktivis Occupy Wall Street. Masyarakat dunia dikejutkan dengan ribuan orang yang tiba-tiba berkumpul, membuat tenda serta berdemonstrasi di Jantung perekonomian Amerika Serikat tepatnya di Jalan Wall Street New York. Mereka datang dari berbagai macam aliran politik seperti aktivis kiri, lingkungan hidup, feminis, perdamaian hingga aktivis buruh . Gerakan Occupy Wall Street  memilih kawasan Wall Street yang dikenal sebagai pusat perekonomian dunia sebagai simbol ketamakan kapitalisme yang selama ini didengungkan membawa keadilan ekonomi bagi masyarakat. Gerakan ini kemudian merembet ke beberapa kota dan negara seperti Oklahoma, Seattle, Chicago, Paris, India, Jerman hingga Indonesia dengan sasaran yang sama yaitu simbol-simbol  perusahaan korporasi berpusat/mendirikan kantornya.
            Gerakan pendudukan Wall Street ini kalau kita runtut sejarahnya bukanlah gerakan yang muncul begitu saja. Sejak konferensi WTO tahun 1999 saat berlangsungnya konferensi WTO di kota Seattle Amerika serikat, gerakan anti kapitalisme global mulai menunjukkan jati dirinya di jalanan dan tidak lagi berada di belakang layar. Gerakan ini kemudian mengilhami gerakan serupa di beberapa negara lain yang mengadakan konferensi WTO seperti Itali, Ceko dan Kanada. Gerakan anti kapitalisme sering pula sejalan dengan gerakan anti perang yang muncul sejak kebijakan Bush untuk menginvasi Irak pada tahun 2003 dengan dalih adanya kepemilikan senjata massal oleh Negeri 1001 dongeng  (yang belakangan diketahui nihil) padahal sejatinya invasi itu bertujuan untuk  menguasai cadangan minyak dunia oleh korporasi. Gerakan ini seolah menantang tesis Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History yang menyatakan abad 20 adalah abad dimana demokrasi dan kapitalisme adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan umat manusia.

            Keresahan karena sistem kapitalisme yang terjadi sekarang ini tentu saja bukan berdasarkan isapan jempol belaka. Jika melihat data World Bank tahun 2008 dimana  150 pemilik perusahaan korporasi multinasional mempunyai kekayaan setara dengan 70 negara berkembang tentu  patut bertanya darimana kekayaan itu mereka peroleh? Belum lagi masalah-masalah di dunia ketiga seperti angka kematian akibat kelaparan meningkat, perang yang tidak kunjung reda serta perusakan lingkungan yang merajarela. Hal ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi 2008 yang menimpa hampir seluruh negara maju di Amerika Utara serta Eropa barat yang selama ini dikenal sebagai negara maju. Kapitalisme baru (baca:neoliberalisme) yang selama ini berusaha mengurangi intervensi negara kaitannya dengan pasar, justru meminta negara untuk membail-out perusahaan yang kolaps akibat krisis. Uang negara yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat untuk kesejahteraan sosial justru dinikmati segelintir orang pemilik perusahaan untuk keuntungan pribadinya.
            Menilik buku Joseph E Stiglitz Globalization and Discontent mantan penasehat Bank Dunia yang memaparkan bagaimana perusahaan multinasional berperan penting dalam pemberian hutang negara berkembang ternyata juga memberi fakta mengejutkan. Bahwa sejatinya hutang- hutang tersebut sering bersifat memaksa dan menetapkan syarat-syarat yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat di negara berkembang, seperti swastanisasi sektor publik terutama pendidikan dan kesehatan, sistem tenaga kerja kontrak (yang dikenal dengan istilah fleksibilitas buruh) serta liberalisasi peraturan yang menyangkut kepentingan perusahaan asing. Lagi lagi pejabat publik yang sejatinya dipilih oleh rakyat melalui sistem demokrasi tak berdaya ketika berhadapan dengan kepentingan korporasi multinasional
Indonesia,dimana posisi kita?
            Pasca reformasi 1998 krisis yang menimpa bangsa ini belum juga berakhir. Reformasi yang diharapkan dapat membawa kesejahteraan yang lebih baik justru belum membawa tanda-tanda perubahan. Empat kali berganti presiden dengan tiga kali pemilu yang dikatakan paling demokratis di dunia menyisakan cerita pedih bagi kebanyakan masyarakat. Korupsi yang merajarela, perusakan lingkungan, mahalnya biaya hidup menjadi fakta yang ditemui setelah 13 tahun reformasi. Kaitannya dengan kondisi global di atas tentu tidak dapat dilepaskan.
            Fakta bahwa hutang Indonesia justru meningkat hingga 1700 Triliyun dengan klaim pemerintah turunnya angka kemiskinan patut menjadi perhatian. Indonesia sebagai negara yang selamat dari krisis ekonomi 2008 ternyata bukan karena kerja pemerintah namun karena putaran uang yang berasal dari usaha kecil dan menengah. Sektor-sektor informal seperti pedagang kaki lima, pasar tradisional serta koperasi petani dan nelayan justru menjadi  penyelamat bagi perekonomian bangsa dari krisis. Alih alih sektor informal ini didukung oleh pemerintah hal ini justru dibalas dengan kebijakan swastanisasi lembaga pendidikan, kesehatan serta upah rendah tenaga kerja. Tepat seperti yang dikatakan Naomi Klein dalam bukunya No Logo globalisasi bagi negara berkembang tak lain gombalisasi alias omong kosong belaka, globalisasi hanya menguntungkan korporasi multinasional yang ingin menancapkan kuku lebih tajam di negara berkembang karena kejenuhan pasar di negara maju.
            Kritik yang datang dari masyarakat terhadap pemerintah mengenai keadaan di atas bukannya tidak berhenti. Aksi demonstrasi yang dimotori oleh buruh, mahasiswa, para aktivis LSM memenuhi hampir setiap hari berita di media dari seluruh penjuru nusantara. Namun selama ini gerakan demonstrasi bersifat nasional seolah melupakan bahwa akar sejati permasalahan yang menimpa Indonesia sebenarnya sangat terkait erat dengan apa yang terjadi di dunia internasional khususnya kondisi perekonomian negara maju.  Soekarno sang proklamator sendiri pernah berpidato tentang perlunya mewaspadai kehadiran neo imperialisme yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara perahan bagi perusahaan asing. Pernyataan tadi rasanya perlu diangkat kembali untuk mengkritisi kapitalisme global yang saat ini berada dalam masa krisisnya
“There is an alternative and we are struggle for humanity..”
            Belajar dari gerakan Occupy Wall Street dimana ada heterogenitas gerakan serta tuntutan yang berbeda-beda ada satu persamaan yaitu mempertanyakan kembali kapitalisme sebagai sistem yang mensejahterakan dan perjuangan atas nilai kemanusiaan. Alternatif atas sistem kapitalisme yang tidak adil ini sangat banyak dan beragam mulai dari pembubaran Bank Dunia dan IMF, demokratisasi lembaga-lembaga keuangan dunia hingga penghapusan hutang bagi negara-negara berkembang. Meski belum menemui titik temu solusi yang memuaskan semua pihak, gerakan ini tampaknya akan terus bergulir. Diskusi dan perdebatan akan menjadi santapan sehari hari tak hanya oleh demonstran namun masyarakat yang merasakan langsung ketidakadilan. Selama krisis ekonomi tidak teratasi dan keadilan ekonomi belum tercapai maka ke depan gerakan ini bisa jadi akan semakin besar.  Semoga 

Share:

2 comments

  1. sejatinya globalisasi dan neoliberalisme telah dimulai sejak zaman politik etis. perusahaan asing mulai masuk dan menguasai segala sektor. mulai dari pertanian sampai dengan tambang. indonesia memang kaya, dan bagi perusahaan asing untuk menghisap sumber daya indonesia.
    indonesia dipandang cocok untuk menjadi tempat produksi sekaligus pasar strategis. dengan kata lain di produksi di indonesia, oleh orang indonesia da digunakan oleh orang indonesa juga. tapi keuntungan terbang ke saku orang lain. yang tersisa hanya lahan tandus sisa tambang, hutan gundul sisa perkebunan. saat indonesia berubah, nasionalisasi semua perusahaan asing untuk menuju kemerdekaan 100%. seperti dikatakan oleh Tan Malaka.

    ReplyDelete
  2. jauh sebelum politik etis diterapkan, negara-negara barat telah mempraktekkan dan membagi kawasan-kawasan di dunia menjadi daerah jajahan kolonial. saya sepakat mas ide-ide tan malaka tentang kemerdekaan yang 100 % harus diperjuangkan sebagaimana tulisan-tulisan beliau dalam buku-bukunya

    ReplyDelete