Menengok Pelayanan Kesehatan Kuba dan Venezuela

Jadi begini ceritanya, sepulangnya dari Solo saya menumpang bis malam jurusan Bogor. Kebetulan saya duduk di dekat jendela sehingga bisa melihat keadaan di sepanjang perjalanan. Waktu itu sekitar pukul 1 dinihari saya belum juga bisa terlelap dan bis sedang meluncur cepat di jalur Pantai Utara yang sering disebut jalur Pantura. Jalur terpenting sepanjang Pulau Jawa yang dibangun Gubernur Hindia Belanda Daendels pada awal abad 18. Jalur ini konon dibuat untuk memudahkan perjalanan para pejabat Hindia Belanda dan para pedagang sepanjang pulau Jawa.

Dari dalam bis tidak sengaja saya melihat seorang ayah bersama istri dan anaknya yang masih bayi berboncengan naik motor. Kontan saya emosi, ga kasian apa anak bayi dibonceng jam segini, jalur Pantura pula, pikir saya. Namun sejenak kemudian emosi saya hilang karena saya berpikir bisa jadi bayi yang dibonceng itu sedang dalam keadaan sakit hingga harus dibawa malam hari naik motor. Bisa jadi pula rumah sakitnya ada di tengah kota yang jauh dari rumahnya. Lagipula mana ada orangtua yang tega memboncengkan bayinya malam hari jika tidak dalam keadaan darurat?

Jika kemudian yang terjadi adalah pikiran saya yang kedua, saya jadi teringat tentang pelayanan kesehatan di Kuba dan Venezuela. Di dua negara berhaluan sosialisme tersebut, pelayanan kesehatan merupakan prioritas utama disamping pendidikan. Steve Brouwer dalam bukunya Revolutionary Doctor mengungkapkan bahwa pasca revolusi Kuba ada program bernama Integral Community Medicine dimana para dokter wajib turun ke pedesaan untuk memberikan pelayanan kesehatan sekaligus memberikan pengajaran kesehatan bagi para petani dan rakyat miskin. 

Di setiap wilayah yang terdiri dari 100-150 keluarga diwajibkan ada seorang dokter keluarga, dimana rumah dokter tersebut dijadikan klinik yang buka 24 jam sehari dengan fasilitas rawat inap. di setiap klinik terdiri dari seorang dokter ahli penyakit dalam, dokter kandungan dan seorang pekerja sosial. Jika kemudian tidak memungkinkan perawatan di klinik maka pasien dirujuk ke rumah sakit negara. Uniknya di rumah sakit Kuba tidak ada klasifikasi kelas di dalam rumah sakit alias semua warga mendapat pelayanan utama yang sama tanpa biaya karena telah ditanggung oleh negara.

Hal yang sama juga terjadi di Venezuela, setelah Revolusi Bolivarian yang dilakukan oleh Hugo Chavez pada tahun 1999. Di sana balai pengobatan komunitas atau disini biasa disebut puskesmas didirikan di setiap pedesaan dengan pelayanan setara rumah sakit daerah. Pelayanannya pun tidak main-main atau seadanya, selain buka selama 24 jam juga bisa dilakukan operasi dengan ruang rawat inap. Alih-alih warga datang ke sana, jika ada keadaan darurat maka setiap dokter diwajibkan mendatangi rumah warga yang sakit tanpa dipungut bayaran.

Menariknya di Venezuela setiap dokter yang ditugaskan di daerah pedesaan tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan namun juga memberikan pendidikan dokter komunitas kepada masyarakat tidak mampu di wilayahnya. Hasilnya luar biasa, tanpa harus mendatangi universitas untuk menempuh studi kedokteran, setiap warga yang telah lulus sekolah menengah atas bisa mengikuti pendidikan dokter komunitas hingga nanti bisa melayani warga di sekitarnya. Saat ini hampir seluruh wilayah Venezuela telah ada dokter komunitas lewat program Medicina Integral Communitaria (MIC)

Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin dilakukan di Indonesia? Saya pikir sangat mungkin jika pemerintah baik itu pusat maupun daerah ada kemauan. Persoalan utama mengenai banyaknya warga dan terpencilnya wilayah bisa diatasi dengan kebijakan otonomi daerah masing-masing, tinggal bagaimana sistem ini dapat berjalan tentunya dengan landasan hukum yang kuat. 

Share:

1 comments

  1. bagaimana Kalau keadaan kesehatan itu diterapkan diindonesia
    https://vitaminantariksa.blogspot.com/

    ReplyDelete