Menilik UU Dikti : (Belajar) Menjadi Bangsa Penghutang
Akhir Januari
2012 ratusan ribu mahasiswa Kanada turun ke jalan. Mereka semua memprotes
tentang kenaikan biaya kuliah yang drastis akibat kebijakan penghematan yang
dilakukan pemerintah. Hal ini juga dilakukan oleh ribuan mahasiswa di Amerika
Serikat, Chili dan Spanyol. Dalam tiap demonstrasinya mereka semua berteriak
hal yang sama “ free for high education fee and free the student debt loan”
atau dalam bahasa kita kuliah gratis dan hapus hutang biaya pendidikan. Dalam
sejarahnya ini adalah demonstrasi terbesar yang terjadi di negara negara maju
pasca jatuhnya krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat serta Eropa pada
tahun 2007. Hal ini juga dipicu dengan keberhasilan gerakan massa yang sering
disebut pengamat sebagai gerakan Revolusi 2.0 yang menggulingkan sebagian besar
penguasa diktator di semenanjung benua Arab.
Jika merunut
sejarahnya komersialisasi pendidikan tinggi di negara maju dimulai pada tahun
1970an dimana Amerika dengan dukungan negara-negara yang tergabung dalam GATS
menetapkan bahwa sektor pendidikan dimasukkan sebagai kategori yang dapat
diperjualbelikan. Akibatnya biaya pendidikan tinggi dibiayai pemerintah sejauh
kemampuan negara dan disebut sebagai subsidi. Kebijakan ini menghasilkan pola
bahwa setiap mahasiswa yang tidak mampu membiayai pendidikannya dapat
mengajukan pinjaman pada pihak universitas. Ketika universitas tidak dapat
memberi pinjaman ( karena tidak mendapat jatah subsidi dari negara) maka pihak
swasta dalam hal ini korporasi dapat memberikan pinjaman biaya pendidikan.
Tidak jarang pinjaman ini memakai sistem bunga karena dianggap sebagai bisnis
oleh korporasi. Pinjaman biaya pendidikan ini dikembalikan mahasiswa pasca lulus
dan mendapatkan pekerjaan. Disana universitas-universitas sudah sangat
terintegrasi dengan korporasi baik secara kurikulum maupun pembiayaan.
Pada mulanya
kebijakan pinjaman biaya pendidikan ini dianggap hal yang wajar karena di
Amerika Serikat sebagai contoh kasus, kondisi perekonomiannya terhitung stabil.
Mahasiswa yang lulus dapat memperoleh pekerjaan dan membayar hutangnya tanpa
masalah. Namun kemudian kebijakan liberalisasi pendidikan ini menemui momentum
kehancurannya ketika terjadi krisis ekonomi tahun 2007. Krisis yang dipicu oleh
maraknya kredit perumahan yang tak terbayar ternyata berimbas pula pada
ditutupnya sebagian besar lapangan pekerjaan lain. Akibatnya mahasiswa yang
sudah lulus di negara maju tidak dapat bekerja serta terlanjur dililit hutang
semasa kuliahnya. Dalam tempo sekejap krisis yang melanda Amerika Serikat ini
juga berimbas ke negara-negara lain termasuk negara- negara Eropa. Angka
pengangguran melejit terutama di kalangan generasi muda Amerika serta Eropa,
belum lagi ditambah kebijakan penghematan yang diserukan oleh badan keuangan
internasional yang akan memberi pinjaman ketika berbagai macam subsidi dicabut
menghasilkan krisis yang kian parah.
Kembali ke
dalam negeri, Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk
terbesar ketiga di dunia juga menemui perubahan dalam sistem pendidikannya.
Setelah reformasi yang terjadi tahun 1998 bermunculan banyak Undang-Undang yang
meliberalkan sektor-sektor penting seperti UU Pertambangan, UU Migas, UU Air
dan masih banyak lagi. Sektor pendidikan pun tak luput dari upaya liberalisasi
sejak dikeluarkannya UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas_ yang mengatur
pengelolaan pendidikan Indonesia. Dari UU Sisdiknas ini disyaratkan bahwa
pengaturan Perguruan Tinggi akan dijalankan dengan UU tersendiri. Ketika
pertama kali diundangkan, pengaturan Perguruan Tinggi ini diatur dengan UU
Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Upaya liberalisasi dan privatisasi pendidikan
ini diprotes oleh banyak pihak sehingga akhirnya dibatalkan seluruhnya oleh
Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Berangkat dari
situ Pemerintah dan DPR merumuskan UU baru yang pada 13 Juli 2012 lalu sudah
disahkan bernama UU Pendidikan Tinggi atau UU Dikti.
Kaitannya
dengan paragraf awal ternyata Pemerintah kita justru meniru mentah-mentah
kebijakan pendidikan yang terbukti gagal di negara maju. Hal ini dapat dilihat
dalam UU Dikti pasal 76 ayat 2 poin C dimana disebutkan bahwa pemenuhan hak
mahasiswa terkait pembiayaan dapat berupa “ pinjaman dana tanpa bunga yang
wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan” . Dalam penjelasan
pasal tersebut disebutkan yang dimaksud dengan “pinjaman dana tanpa bunga”
adalah pinjaman yang diterima oleh Mahasiswa tanpa bunga untuk mengikuti
dan/atau menyelesaikan Pendidikan Tinggi dengan kewajiban membayar kembali
setelah lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup . Kebijakan ini bisa
dkritisi sebagai bentuk liberalisasi Pendidikan Tinggi oleh pemerintah dengan
melepas tanggung jawab di sektor pendidikan untuk memenuhi hak warga negaranya.
Dikhawatirkan pula akan semakin menutup akses bagi masyarakat yang tidak mampu
karena mereka tidak punya aset untuk menjamin hutang biaya pendidikan mereka.
Seperti
diketahui bahwa tingkat pengangguran terbesar di Indonesia adalah mereka yang
berasal dari kalangan sarjana. Kuantitas maupun kualitas lulusan perguruan
tidak berimbang dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Padahal dari sinilah
nantinya diharapkan perekonomian akan berkembang. Belum lagi jika nantinya negara
kita terkena dampak krisis ekonomi yang berakibat fatal bagi perekonomian
masyarakat. Selain bahaya tersebut kebijakan pinjaman biaya pendidikan ini
jelas bertentangan dengan isi UUD 45 pasal 28 Dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945
disebutkan: ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Kemudian
dipertegas dalam Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia”. Seolah tidak belajar dari pembatalan UU BHP yang lalu, seharusnya UU
Dikti ini menjamin sepenuhnya kewajiban pemerintah untuk membuka akses seluas-luasnya
untuk masyarakat memperoleh pendidikan tinggi bukan untuk meliberalkannya.
Segala peraturan yang ingin meliberalkan sektor pendidikan harus ditolak sesuai
dengan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan konstitusi yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga !
Tags:
Aksi
aktivis
Anti globalisasi
Demonstrasi
gerakan
globalisasi
himpunan mahasiswa islam
HMI
hukum
indonesia
Kapitalisme
mahasiswa
Neoliberalisme
Perguruan Tinggi
UU BHP
UU DIKTI
UU PT
2 comments
sebagai pengguna jalan raya, saya sekarang sangat keberatan karena UGM menarik dana dari jalan lingkar di samping Kopma, padahal dulu itu adalah jalur favorit saya menghindari lampu merah di Mirota Kampus.
ReplyDeleteKukira itu salah satu caranya "golek duwit" .....
iya, semua dikomersilkan :(
ReplyDelete