Resensi Novel Sang Raja
Mencari cerita pendek (cerpen) dengan latar belakang sejarah memang tidak mudah, apalagi menulis sebuah novel. Butuh banyak eksplorasi, penelitian dan imajinasi yang luar biasa untuk bisa menuliskan sebuah sejarah yang menyangkut kehidupan di masa lalu meskipun yang ditulis seorang tokoh besar sekalipun.
Begitu juga dengan novel berjudul Sang Raja karya Iksaka Banu yang bercerita tentang masa lalu pemilik pabrik kretek yang paling terkenal di kota Kudus yaitu Nitemito dengan pabrik rokok Bal Tiga di era kolonial Belanda. Bal Tiga sendiri adalah salah satu pabrik kretek yang sempat berjaya di era 20-30 an, mempekerjakan ribuan buruh dengan manajemen modern hingga akhirnya harus tutup pasca kemerdekaan karena konflik internal penerus pabrik.
Novel ini dibuka dengan adegan pemakaman Nitisemito yang dihadiri ribuan masyarakat, para pejabat serta koleganya di usaha kretek. Cerita kemudian berlanjut dengan flashback dua tokoh utamanya yaitu dua pegawai berbeda kebangsaan Wirosoeseno yang asli Jawa dan Filipus Rechterhand Belanda totok yang lahir di Hindia Belanda, mulai dari awal karir mereka hingga masa pensiun di pabrik rokok Bal Tiga.
Sepanjang perjalanan, kedua tokoh menceritakan dari sudut pandang masing-masing bagaimana mereka bisa kerja di pabrik Bal Tiga, perjalanan dan inovasi yang dilakukan oleh Bal Tiga hingga sang pemilik Nitisemito dijuluki oleh media Hindia Belanda yang terbit kala itu sebagai "De Koning' Sang Raja Rokok Kretek. Meski begitu Nitisemito menurut saya hanya ditampilkan sebagai latar belakang saja sebab dia muncul di saat-saat penting saja.
Banyak kejadian di dalam pabrik yang diceritakan di dalam novel ini diantaranya alur pembuatan kretek sendiri (yang ternyata sangat panjang rantai pembuatannya), promosi rokok Bal Tiga yang menghebohkan (membuat selebaran dan dibagikan dari pesawat yang disewa) serta konflik dengan pemerintah Hindia Belanda terkait cukai hingga datangnya penjajah Jepang yang membuat pabrik rokok ini mengalami krisis. Masing-masing diceritakan dengan runtut sehingga kita bisa membayangkan suasana kota Kudus saat itu.
Sebelumnya saya pernah dibuat kagum dengan karya Iksaka Banu yang berjudul Semua Untuk Hindia, cerita-cerita pendeknya segar dengan gambaran tokoh dan setting yang detail tentang kehidupan di era kolonial, tentu ekspetasi saya tentang novel ini juga tinggi mengingat cerpennya yang pernah saya baca.
Tapi entah mengapa membaca novel ini terasa tidak penuh kejutan alias perasaan saya biasa-biasa saja. Meski setting cerita, lokasi dan tokohnya juga dibahas mendalam tapi penulisannya seperti dibuat tergesa-gesa sehingga saya sebagai pembaca tidak dibuat penasaran dengan konflik-konflik yang terjadi berikutnya. Anyway kesimpulan saya novel ini tetap layak dibaca bagi penikmat bacaan sejarah atau yang penasaran dengan sejarah kretek di Indonesia khususnya di Kota Kudus.
Satu hal yang pasti membaca novel ini memberi pengetahuan baru untuk saya bahwa penjajahan yang terjadi waktu itu tidak selalu tentang perang senjata atau tidak selalu wong ireng musuh wong londo tetapi banyak dinamika yang saling berkelindan di kehidupan sehari-hari orang biasa dan membentuk apa yang kita jalani hari ini.
Tags:
buku
cerita
Curhat
iksaka banu
indonesia
merdeka
novel
pribadi
resensi
review
sang raja
sejarah
0 comments