Bertualang Ke Kota Tua Jakarta

Museum Fatahillah

Hola, kemarin saya sempat jalan-jalan lagi ke Kota Tua Jakarta, meskipun saya sudah pernah ke sini, tapi rasanya belum puas mengamati segala keramaian di kawasan yang dibangun kolonial pada abad 16 ini. Kabarnya wajahnya sedikit berubah sebab bangunan-bangunan lamanya mulai dihidupkan lagi.

Berencana berangkat dari kota Bogor jam 8 pagi apa daya bangun kesiangan sehingga baru lepas landas dari Stasiun Bogor jam 10 hahaha... Tidak mengapa sebab saya tidak menargetkan jam berapa harus tiba dan pulang, kekhawatiran saya saat itu ialah Warung Kopi Tak Kie keburu habis.

Sesampainya di Stasiun Kota tujuan pertama adalah kedai kopi tersebut yang terletak tidak jauh dari Stasiun Kota. Dari hasil Googling konon warung kopi  Tak Kie sudah ada sejak tahun 1927. Penjualnya sendiri masih keturunan langsung dari Tionghoa, bedanya kopinya sekarang tidak dijual dengan cara dipikul, seperti zaman kolonial namun menempati warung permanen di tengah pemukiman warga.

Es Kopi Tak Kie

Begitu masuk ada suasana akrab terasa di kedai kopi Tak Kie ini, rata-rata pengunjungnya beretnis Tionghoa dan saya dengarkan beberapa obrolan masih menggunakan bahasa Mandarin, tak tahu saya bahasa cina asli atau bukan, sebab saya tidak bisa bahasanya hehehe...

Tanpa pikir lama saya pesan es Kopi tanpa susu untuk menu sarapan dan rasanya boleh dibilang segar sekali di tengah suasana Jakarta yang terik. Oh iya Tak Kie sendiri berasal dari 2 kata yaitu Tak yang berarti sederhana dan Kie artinya mudah diingat orang. Sesuai dengan namanya, selain kopinya segar tempatnya sangat sederhana dan harganya pun terjangkau.

Selepas dari Kedai Tak Kie saya kembali ke arah Kota Tua, kali ini ke pusat keramaiannya yaitu Lapangan Fatahillah. Hari itu kawasan Kota Tua belum ramai, mungkin karena banyak orang masih terjebak kemacetan di sekitarnya. Maklum kawasan ini memang tujuan utama wisata bagi warga Jakarta yang tidak ingin keluar kota dan menurut saya memang mengasikkan menghabiskan waktu di tempat ini.

Tempat Mengintip Eksekusi

Bangunan di kawasan Kota Tua yang paling terkenal tentu saja Museum Fatahillah yang awalnya berfungsi sebagai markas besar Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC) dan kemudian menjadi balaikota milik kerajaan Belanda saat VOC mengalami kebangkrutan. Pasca kemerdeka an bangunan ini  dijadikan museum oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1974.

Pembangunan balaikota ini dimulai oleh Gubernur Jenderal Van Hoorn pada tahun 1707 dan diresmikan oleh Van Riebeck pada tahun 1710. Balaikota ini merupakan bangunan ketiga setelah dua balaikota sebelumnya hancur akibat pengepungan Sultan Agung dan bangunan yang kedua dihancurkan karena tergerus tanah yang labil. Sisa bangunan kedua inilah yang kemudian digunakan untuk membangun gedung ini sampai sekarang.

Saya sempat googling tentang sejarah Balaikota ini, selain sebagai pusat pemerintahan di depan balaikota ini juga digunakan sebagai tempat eksekusi para terpidana yang dinyatakan bersalah oleh pemerintah kolonial. Hal ini dilakukan sebab ada tradisi hukum yang menyatakan eksekusi harus dilakukan di bawah langit biru dan disaksikan oleh masyarakat umum.

Kantor Pos Kota Tua Jakarta

Oke lanjut ke gedung berikutnya, yaitu Kantor Pos Kota Tua Jakarta. Bangunan ini tergolong baru sebab didirikan pada tahun 1928. Namun melihat Kantor Pos ini mengingatkan saya akan cerita jalan Daendels yang berhubungan erat dengan sejarah pos di Indonesia.

Nah beralih ke gedung selanjutnya, yaitu gedung Cafe Batavia yang diperkirakan berdiri pada tahun 1830-an dan berubah-ubah fungsinya hingga sekarang menjadi sebuah restoran. Pada tahun 1884 gedung ini digunakan sebagai kantor E Dunlop&co, tapi bukan Dunlop yang merk ban itu karena Dunlop ban baru ada di tahun 1889 dan belum ekspansi ke luar Eropa.

Cafe Batavia Niy

E Dunlop yang pernah menempati bangunan ini adalah perusahaan dagang dan importir barang yang berdiri di kota Batavia dan juga membuka kantor cabangnya di kota lain. Hal ini sangat wajar sebab sejak diberlakukannya era modal bebas pada tahun 1870 di Hindia Belanda puluhan pengusaha swasta ikut menanamkan modalnya. Tidak heran bermunculan banyak perusahaan ekspor impor yang bertugas mengurusi keluar dan masuknya barang ke dalam dan luar negeri.

Bangunan ini pernah digunakan juga oleh Kantor Hadji Kongsi Tiga pada tahun 1920 an, yang merupakan perusahaan pengangkut jamaah haji. Nama Kongsi Tiga sendiri berasal dari nama maskapai pelayaran Nederland-Rotterdam yang berasal dari Belanda dan Semerong Blow dari Inggris.

Omong-omong soal haji zaman dulu, selain biaya haji yang mahal para jemaah haji juga sering diperas dan ditempatkan di tempat yang tidak manusiawi sesampainya di tanah suci. Keadaan ini baru membaik setelah para ulama mengecam dan memprotes keadaan para haji dari Hindia Belanda hingga urusan ini harus dibahas di Volksraad (dewan rakyat pura-pura hehehe..) untuk perbaikan pelayanan haji.

Halaman Museum Bank Indonesia

Sebetulnya masih banyak lagi bangunan tua yang tersebar di kawasan Kota Tua sepeti Museum Wayang yang dulu merupakan bangunan gereja tertua di Jakarta (btw, di sini juga terdapat prasasti makam JP.Coen si pembantai loh), Gedung Dassad Mussin yang merupakan milik pengusaha kaya bernama Dassad Mussin serta gedung Jasindo yang berada tepat di seberang Museum Fatahillah.

Belum lagi museum-museum yang juga terletak di kawasan ini, seperti Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri, Museum Keramik (bekas gedung pengadilan kolonial) dan rumah-rumah tua, baik bergaya Belanda maupun Tionghoa. Ah rasanya tidak cukup memutari kawasan Kota Tua dalam waktu sehari, sayang waktu sudah menjelang sore dan saya berjanji akan mengunjungi kawasan ini lagi kelak.

Sebagai penutup, kawasan kota Tua sempat redup pesonanya di penghujung abad 19. Merebaknya wabah malaria dan tidak berfungsinya kanal-kanal di sekitar Kota Tua membuat pemerintah kolonial memutuskan memindahkan pusat pemerintahan ke daerah yang lebih tinggi permukaannya, yaitu ke kawasan selatan Jakarta. Meski begitu kawasan ini tetap hidup sebagai kawasan perdagangan yang aktif hingga sekarang.

Sudut Jalan Kota Tua

Melihat kawasan Kota Tua saya tidak berhenti membayangkan ramainya kawasan tersebut dengan hilir mudik para pedagang dari seluruh dunia, minus rakyat kecil tentunya. Sebab mereka hanya menjadi buruh buruh yang diperas tenaganya di belakang layar.

Dan sedihnya, saat saya berjalan menuju Stasiun Kota, ada kejadian yang membuat hati saya miris, yaitu melihat para pedagang kaki lima berlarian menghindari kejaran Satpol PP karena sedang dilakukan razia oleh pemerintah kota. Semoga ke depan kejadian seperti ini bisa dihindari, karena sudah seharusnya kawasan wisata menjadi milik semua orang, termasuk PKL untuk berjualan.


Bacaan lebih lanjut Kawasan Kota Tua Jakarta saya baca dari sini :
Wikipedia
Historia
Tirto
minumkopi
Novel Rahasia Meedee ES.Ito

Share:

1 comments