Memaknai Ulang Sumpah Pemuda, dari Universitas menuju Masyarakat Madani*

"Terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Begitu  ungkap Nurcholis Madjid dalam bukunya Cita-cita Politik Islam. Pengantar dari Cak Nur di atas tampak tepat untuk menyambut diskusi kita kali ini. Jika kita membincang tentang Nasionalisme maka kita tidak lepas dari sejarah berkumpulnya para pemuda nusantara untuk bersatu yang sekarang kita kenal dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Sumpah Pemuda ditandai dengan komitmen awal para pemuda dari Indonesia untuk bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Setiap tahun peristiwa Sumpah Pemuda ini terus dibacakan dan dirayakan. Namun fakta yang terjadi seperti berbanding terbalik, setiap tahun pula negeri ini dipenuhi berita tentang munculnya konflik antar suku, ras dan agama di berbagai penjuru nusantara yang seolah tak kunjung usai.
Di abad ini ketika kemasan lebih menarik daripada isi, simulasi lebih nyata daripada kenyataan dan hasil lebih bernilai daripada proses dan perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat membuat banyak orang kemudian sulit membedakan antara informasi dengan kebenaran. Setiap orang  bisa mempengaruhi, menyangkal dan menerima pendapat orang lain tanpa menelaah terlebih dahulu setiap pernyataan secara mendalam.
Contoh paling mudah untuk menggambarkan hal diatas adalah media internet yang sering kita gunakan. Di dunia yang bergerak tiap orang berhak untuk menyatakan pendapatnya hanya dari genggaman tangan. Entah disadari atau tidak banyak kemudian konflik timbul akibat salah kesalahpahaman menerima informasi.
Pemaknaan ulang atas Sumpah Pemuda menurut penulis harus dimulai dari pembaruan makna dan peran pemuda itu sendiri dalam proses perjalanan bangsa ke depan dengan segala tantangannya. Bagaimana kemudian pemahaman pemuda atas kondisi Indonesia saat ini dilihat para pemudanya dari Ujung Sumatra hingga Papua pasca munculnya era reformasi, globalisasi dan otonomi daerah.
Dengan melihat  ini maka akan muncul kemudian pemahaman baru dari pemuda-pemuda Indonesia sebagai bangsa yang besar dan berbudaya tanpa menutup mata dari permasalahan yang terjadi hari ini dengan terus menghargai dan mempertahankan keragaman agama,suku dan budaya yang telah ada sebelumnya.
Pemaknaan ulang atas Sumpah Pemuda juga harus terjadi karena adanya proses dialektika yang terus menerus dan tidak dipaksakan, dengan tujuan akhirnya sesuai dengan tujuan Negara Indonesia yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kesadaran ini menjadi penting agar di masa depan tidak lagi muncul pemahaman di masyarakat bahwa Indonesia hanyalah milik suku dan etnis tertentu saja. Tak pelak pemuda harus bisa menjadi subyek perubahan di masa kini dan mendatang tidak lagi berbicara wacana dahulu dan yang telah berlalu. Sebagaimana sejarah tidaklah bergerak mundur namun justru terus maju menuju kesempurnaan seperti dijelaskan oleh Ibnu Khaldun seorang filsuf sekaligus sosiolog pertama jauh sebelum abad pencerahan.
Universitas sebagai tempat berkumpulnya para intelektual yang notabene diisi pemuda dari seluruh penjuru nusantara harus juga didorong sebagai laboratorium peradaban bangsa. Adanya keragaman budaya dan etnis dari pemuda yang menempuh pendidikan tinggi dapat menjadi cermin dari kebhinekaan yang ada dan hidup di tengah masyarakat. Budaya persamaan, toleransi dan musyawarah yang dikembangkan dalam universitas haruslah dipraktekkan dan nantinya ditujukan untuk masyarakat yang lebih luas.
Terbukanya ruang diskusi dan wacana di dalam universitas juga dapat memperkaya khasanah pengetahuan yang berguna sehingga kemudian dari pemaknaan ulang Sumpah Pemuda muncul masyarakat madani yang dicirikan oleh Nurcholish Madjid sebagai masyarakat yang berperadaban dengan ciri antara lain masyarakat yang egaliter, menghargai prestasi dan keterbukaan, menjunjung toleransi dan mengedepankan musyawarah. Salam
*Disampaikan oleh Aldian AW dalam Diskusi Nurian Institute Kamis, 4 Juni 2015 di Solo

Share:

0 comments