Perjalanan Saya (Keluarga Insan Cita - Bagian Kedua)
Melanjutkan tulisan cerita saya yang belum selesai
di blog kemarin,satu hal yang ingin saya tekankan adalah bagaimana rasanya
hidup di rumah tinggal kalian yang biasa disebut rantau. Saya jadi mengerti
jawaban atas pertanyaan saya sendiri yang sering saya ajukan ke teman-teman
saya yang ngekos di Solo. Jadi ceritanya setiap ada penerimaan mahasiswa baru
pasti ada teman baru, nah yang saya heran mengapa mereka-mereka ini sering
sekali pulangnya ke rumah masing-masing ketika dua semester awal.
Saya pikir karena saya tinggal di Solo bukankah
capek tiap minggu bolak balik ke daerah masing-masing? Apakah mereka tidak
nyaman tinggal di Solo (yang bagi saya cukup nyaman). Apa karena kuliah tidak
menyenangkan sehingga harus pulang? Apakah tidak ada teman sehingga tidak
betah? Begitu kira-kira banyak pertanyaan yang sering saya ajukan.
Pertanyaan yang tidak pernah saya temukan jawabannya
dengan memuaskan kala itu baru bisa saya temukan sendiri jawabannya ketika saya
mulai melanjutkan kuliah di kota Bogor. Ya Bogor, kota yang kalo tidak salah saya ingat
baru pertama kali pernah kesana. Kutukan Pramoedya sepertinya berlanjut, di buku
Tetralogi Pulau Buru yang saya baca begitu sering nama kota ini disebut. Tapi bukan
Bogor namanya namun memakai nama jaman dahulu kota tersebut yaitu Buitenzorg.
Kenapa saya sebut kutukan Pramoedya? Karena ketika
kemarin saya belajar bekerja menjadi reporter tidak lain terinspirasi dari
tokoh Tetralogi tersebut, meskipun beda jauh ranahnya. Jika si TirtoAdiSoerjo yang
diceitakan dalam novel tersebut dengan nama Minke adalah jurnalis yang
menentang kolonial, maka saya reporter koran kampus yang tidak menentang apa-apa,
paling tidak sama-sama menulis hehehe...
Balik ke pembahasan awal, setelah dipastikan saya
pindah ke Bogor mulailah saya mengurus kepindahan saya, mulai dari daftar hingga bayar. Nama kampusnya
adalah Universitas Ibnu Khaldun, yang ketika saya buka di wikipedia mempunyai
motto terbinanya Insan akademis blablabla...okey menarik. Singkat cerita proses
bolak balik Jakarta Bogor untuk mengurus kuliah tidak hanya sekali saja. Pengalaman
baru lagi untuk hidup saya, melihat satu lagi kampus yang akan menemani saya
belajar. Saya berusaha ini terakhir kalinya berurusan dengan masalah kuliah,
amin ya Allah.
Oke mulai lah hari kuliah pertama yang not so bad,
berangkat dari Jakarta jam setengah 6 pagi dan sampai di kampus jam 8 lebih,
luar biasa bukan untuk jarak Jakarta Bogor yang hanya 60 km? Jadi ketika kuliah
di awal- awal rutenya seperti ini : Rumah - ojek – Stasiun Tebet – Stasiun Bogor
– Angkot 12 – turun di pertigaan Mancur (belakangan baru saya tahu namanya) –
Angkot 16 – kampus. Pulangnya hampir sama tapi cukup sekali naik angkot dari
belakang Jogja plaza di sebrang kampus sampai di Stasiun Bogor. Kalau sudah
sampai Jakarta jika saya tidak kesorean dan kelelahan saya naik bis 612 turun
depan kampus Sahid, dan alternatifnya adalah naik ojek sampai depan rumah. Cukup
melelahkan saya akui namun akhirnya badan terbiasa dengan dinamika kereta dan
macetnya ibukota selama 4 bulan tersebut.
Baiklah saya jadi mahasiswa lagi sekarang setelah 2
kampus gagal saya ikuti hingga wisuda. Dan benar saya merasa jauh dan sendirian
di Bogor pertama karena faktanya memang seperti itu. Saya tidak kenal
siapa-siapa dan seringkali saya menunggu jeda kuliah di kantin sambil memegang
hp, melihat aktivitas teman-teman saya di Path yang saya rasakan begitu jauh
dan saya merindukan untuk kembali disana, luntang-lantung ga jelas, nongkrong
di Paragon atau di rumah tidur sepuasya dan bangun melihat orang tua dan adik
saya. Rasanya begitu nyaman berada di rumah meskipun doing nothing, meski juga kadang
membosankan dan ingin pergi jauh dari Solo. Tapi ternyata saya tetap rindu
untuk pulang dan mungkin inilah perasaan yang teman-teman saya rasakan ketika
awal kuliah di Solo, perasaan rindu rumah alias homesick., jawaban yang saya
temukan ketika saya sendiri mengalaminya...
Sampai akhirnya pada suatu hari datanglah momen
dimana saya bisa berkenalan dengan teman-teman baru saya. Saya ingat waktu itu
saya ingin segera pulang setelah kuliah namun ditahan oleh teman di sebelah
saya yang semuanya anak semester 1 (hahaha saya banyak ngulang kuliah semester
1 lagi), “Bentar Bang, ga boleh pulang dulu katanya ada pengumuman dari BEM
buat anak semester satu, wajib ikut semuanya,” katanya. Oh gitu saya tidak jadi
berkemas dan saya duduk kembali, pikir saya mau lihat sekalian gimana BEM
disini, toh cuma sebentar.
Dan kemudian masuklah abang-abang dari BEM memberi
pengumuman bahwa besok ada futsal dan wajib diikuti oleh mahasiswa baru. Namun yang
menarik buat saya bukan pengumuman tersebut namun acara perkenalannya dimana
diantara mereka menyebut motto hidupnya Yakusa singkatan dari Yakin Usaha
Sampai, dan ada yang menyebut juga tujuan dari mahasiswa UIK yaitu terbinanya
insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab
atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah, oke ini anak
himpunan berarti, ketika selesai presentasi dan perkenalan, saya beranikan diri
untuk bertegur sapa dengan mereka di luar kelas.
Saya tanyakan apakah ada yang anak hmi juga, salah satu
dari mereka menjawab iya bang banyak, dan saya diajak ke kantiin untuk
berkenalan dengan mereka semua, yang selama ini tidak saya sadari kantin ini
ternyata tempat nongkrongnya anak himpunan, saya bersyukur bisa bertemu mereka
karena paling tidak saya tidak lagi sendirian, dan merekapun hangat menyambut
saya dengan hangat seperti teman yang lama tidak berjumpa. Bisa jadi slogan anak
himpunan mungkin ini yang dimaksud berteman lebih dari saudara, pikir saya. Sebuah
keluarga bernama keluarga Insan Cita .. Bersambung lagi...
0 comments