27 Juli 1996 Di Ingatan Saya

Menurut saya ada yang tidak kalah penting dengan diumumkannya reshuffle kabinet oleh rezim Jokowi hari ini yaitu peringatan peristiwa 27 Juli 1996 yang sekarang lazim disebut peristiwa Kudatuli. Bagi saya layak untuk dituliskan meski tulisan ini hanya versi ingatan saya pribadi alias tidak ilmiah sama sekali.

Waktu peristiwa 27 Juli terjadi saya sendiri masih berusia 9 tahun, sebagai anak kecil yang saya ingat hanyalah berita berita yang tampil di televisi, (belakangan saat kuliah baru saya ketahui informasi yang ditayangkan berita televisi itu tidak utuh alias setengah-setengah). Namun demikian waktu kejadian itu berlangsung keluarga saya menceritakan bahwa ada kerusuhan di Jakarta tepatnya di Markas Partai Demokrasi (PDI) yang disusupi oleh gerakan komunis gaya baru bernama Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Mengenai kejadiannya yang saya ingat televisi waktu itu hanya menayangkan peristiwa tersebut dari luar saja,  sebab gedungnya sendiri tertutup oleh pagar tinggi dari besi seng dan konon banyak orang bersenjata di dalamnya. Sedangkan di luar gedungnya ditampilkan ratusan massa berpakaian hitam mengepung markas partai berlambang banteng tersebut dan tampak siap merebut markas dari kubu Megawati. Puncaknya saat sore hari muncul berita waktu itu gedung PDI akhirnya diserbu oleh massa dari luar dan diambil oleh pihak PDI Soerjadi serta masyarakat Jakarta diminta untuk tetap tenang.

Jujur saja waktu itu saya tidak mengerti apa itu PRD, hubungannya dengan komunis dan bagaimana kelanjutannya setelah peristiwa Kudatuli tersebut. Namun sebagai anak yang hidup di zaman Orba dimana setiap jam 7 malam acara nonton tv selalu diselingi oleh berita TVRI saya jadi sedikit tahu peristiwa Kudatuli alias masih terekam di kepala.

Intinya begini versi ingatan saya: PDI baru saja mengadakan kongres nasional dimana Megawati didaulat menjadi ketua partai mengalahkan Soerjadi. Namun karena rezim Orde Baru tidak menyetujui kepemimpinannya maka kubu Soerjadi-lah yang dianggap resmi sebagai ketua PDI. Tak lama setelah itu kubu pendukung Megawati yang tidak puas dengan keputusan tersebut kemudian mengambil alih markas PDI di Jakarta sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim.

Sedangkan untuk masalah komunis jelas kata itu menakutkan bagi setiap anak kecil yang hidup sejaman dengan saya,  sebab setiap tahun sekolah menyuruh menonton film G30S PKI yang isinya banyak adegan kejam dilakukan oleh anggota PKI kepada pahlawan revolusi (Baru saat kuliah saja juga baru saya ketahui film ini tidak sepenuhnya benar). Jadi jika ada kegiatan yang berbau komunis haruslah dijauhi dan berbahaya untuk diketahui.

Bagaimana kelanjutannya peristiwa Kudatuli saya tidak tahu, hanya saja yang saya ingat tidak lama setelah itu lahir gerakan bernama Mega Bintang tepatnya di kota Solo. Saya mendapatkan sedikit dari cerita Bapak saya  gerakan Mega Bintang ini muncul menjelang pemilu 1997 dimana banyak massa pendukung PDI kubu Megawati di kota Solo yang tidak puas dengan keputusan pemerintah yang berpihak ke kubu Soerjadi lantas memberikan pilihannya ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang identik dengan gambar bintang (selain gambar Kabbah tentunya). Jadilah Mega Bintang alias PDI pendukung Mega yang bergabung dengan PPP.

Salah satu yang menarik perhatian saya karena waktu itu rezim Orde Baru memang menganggap demokrasi adalah sebuah pesta rakyat maka jadilah perayaan rakyat sesungguhnya adalah saat hari kampanye tiba dimana ribuan orang pendukung partai boleh turun ke jalan dengan knalpot motor yang bising dan bendera yang besar-besar selama waktu yang ditentukan.

Kebetulan waktu itu saya diwajibkan ngaji di tempat tetangga saya yang  terletak di pinggir jalan Dr Radjiman. Sebagai bocah pastilah senang melihat pesta demokrasi tersebut lagipula  anak kecil mana yang tidak suka begitu riuhnya suasana jalan dengan gleyeran motor dari pagi hari hingga maghrib.

Salah satu juga yang tidak saya lupakan adalah simbol jari yang harus saya  dan teman-teman ngaji berikan kepada peserta kampanye. Satu jari telunjuk atau jempol saat hari kampanye PPP, dua jari layaknya simbol peace untuk Golkar dan tiga  jari metal untuk PDI begitu saya dipesankan orang tua sebelum berangkat ngaji.

Nah sedikit berbeda saat pemilu 1997 dimana saat hari kampanye PPP warga di kampung saya (dan mungkin di kawasan lain) memberikan simbol jari yang berbeda yaitu jari telunjuk ditekuk namun ke empat jari lainnya mengacung lambang Mega Bintang: PPP diwakili jempol sedangkan PDI kubu Mega diwakili tiga jari lainnya.  Saya dan teman-teman ngaji saya ya hanya ikut ikut saja, namanya juga tidak mengerti, bagi saya yang penting gayeng dan ikut teriak teriak saat rombongan motor berisik melintas itu sudah cukup menyenangkan.

Begitulah peristiwa Kudatuli di mata saya yang berusia 9 tahun, Jika baru sekarang saya menuliskan ini kebetulan sebetulnya karena saya sedang membaca buku karya Max Lane berjudul Unfinished Nation. Saya baru menyadari bahwa sebelum peristiwa Kudatuli terjadi banyak sejarah perlawanan terhadap rezim Orde Baru, bahkan sejak berdiri rezim tersebut di tahun 1966.

Tentu perlawanan ini memakan korban baik aktivis yang dipenjara maupun korban jiwa yang tidak sedikit (termasuk peristiwa Kudatuli ini). Bagi saya pribadi mereka berjasa besar untuk menuliskan sejarah bangsa ini hingga kita bebas minimal mengeluarkan pendapat seperti yang saya lakukan sekarang. Bukankah menurut Milan Kundera perjuangan melawan rezim adalah perjuangan melawan lupa?

Sebagai penutup tulisan ini saya mengutip dari buku Unfinished Nation di halaman 247-248 :

“... Demonstrasi dan kerusuhan Juli 1996 merupakan tanda lain meningkatnya krisis politik bagi kontra-revolusi: Politik “massa mengambang” sedang mengalami penghancuran...”

Share:

0 comments