Apapun Kopinya Mengobrol Adalah Intinya

Kopi Joko Solo
Menyicipi kopi di tempat yang baru sebetulnya bukan kebiasaan saya, apalagi saya bukan penikmat kopi garis keras yang paham tentang perbedaan berbagai macam rasa kopi. Namun Kopi Joko yang terletak di jantung kota Solo ini menarik perhatian saya. Bukan karena namanya yang membuat saya ingin mencoba namun karena saya selalu lewat sana ketika mengantar ibu saya ke Pasar Penumping yang berada tidak jauh dari sana.

Mengobati rasa penasaran saya, esoknya saya dan beberapa teman coba mampir di Kopi Joko selepas Maghrib yang  syahdu. Bagi anda yang sedang berkunjung ke kota Bengawan tidak ada salahnya untuk menikmati Kopi Joko ini. Letak Kopi Joko cukup strategis yaitu di Jalan Sutowijoyo No 1, Penumping Laweyan Solo hanya beda 100 meter dari Pasar  Penumping yang sudah berdiri sejak lama. Kopi Joko sendiri buka sejak pukul 5 Sore hingga last order jam 1 malam, cukup panjang untuk menemani malam.

Sebagai tempat mengobrol kami memilih di halaman kopi Joko yang menyediakan meja panjang dan kursi-kursi terbuat dari kayu. Jika anda tidak ingin duduk di halaman rumahnya yang klasik, andapun bisa memilih duduk di ruangan semi terbuka 2 lantai yang masing-masing lantai disajikan televisi layar datar tanpa fasilitas wifi. Untuk dapurnya sendiri terletak di bagian depan yang dapat anda saksikan pembuatan kopinya lengkap dengan mesin kopi yang ditata secara rapi di mejanya.

Kopi Joko menyediakan berbagai macam lokal seperti  kopi Flores Manggarai, Bali Kintamani, Sunda Geulis hingga Dewi Rengganis. Kebiasaan saya adalah memesan kopi lokal dengan es batu yang terpisah. Entah mengapa saya sendiri tidak bisa menikmati kopi tanpa didampingi es batu, seperti hidup yang pahit dan dingin selalu bersinggungan. Uniknya saat memesan kopi Bali ini saya ditanya apakah kopinya memakai ampas atau tidak, sebuah pertanyaan yang menurut saya sulit dijawab sebagai penikmat kopi awam. Dengan yakin saya menjawab dengan ampas dan pilihan saya tidak salah.

Menurut saya kopi yang disajikan disini berhasil memenuhi selera saya baik diminum panas langsung maupun dengan es batu. Pas antara asam dan pahitnya kopi Bali ini, bisa jadi lidah saya salah di mata pecinta kopi namun menurut saya kopi adalah teman ngobrol yang setia di tengah obrolan yang panas jadi apapun kopinya yang lebih penting adalah obrolannya. Sedangkan dari segi harga kopi yang disajikan di Kopi Joko  pun terbilang standar untuk mahasiswa seperti saya, mulai dari 15 ribu hingga 30 ribuan se-cangkirnya.

Obrolan saya dan teman berlanjut di Kopi Joko, kali ini membahas wajah kota Solo yang semakin meng-kota. Wajah Solo memang berubah belakangan ini, semakin bising dan ramai namun di Kopi Joko kami bisa mendapatkan suasana yang jauh dari bising. Masing-masing dari kami mencicipi kopi yang berbeda sambil menarik hubungan antara kepadatan kota Solo dengan kebijakan presiden yang berasal dari kota ini dengan inisial yang sama.

Tak terasa serunya mengobrol di Kopi Joko harus kami akhiri, bukan karena obrolan sudah habis namun karena sebagian kami esok hari melanjutkan hidup, menyusun jadwal kuliah dan mencari sesuap nasi. Dan saya sendiri masih sama setiap hari memandangi skripsi yang tak kunjung usai tak lupa mengantar ibu belanja di pagi hari.

Share:

0 comments