Perjalanan ke Monumen Pers Solo


tampak dalam monumen pers

So! What can I tell you about the museum? 
(Night At The Museum- The Movie)

Pada hari Selasa lalu saya menyempatkan diri berkunjung ke Monumen Pers Nasional Surakarta. Bagi yang belum tahu letaknya berada di Jalan Gajah Mada No. 59 atau lebih mudahnya kalau berkunjung ke Solo cobalah tanya letak Monumen Pers, biasanya orang menunjukkan lokasinya. Terletak di pusat kota Monumen Pers ini ketika saya kunjungi sedang ada pameran dengan tema “ Peran Media Massa dalam kerangka Kebhinekaan” Tema yang menurut saya Orba banget hehehe.. tapi terlepas dari itu, saya memang tertarik dengan sejarah Pers Indonesia setelah membaca Novel nya Pramoedya A Toer Tetralogi Pulau Buru. Di novel yang terdiri dari 4 episode itu bercerita tentang perjalanan Indonesia dalam abad 19 menjelang kemerdekaan. Si tokoh sendiri bernama Minke seorang anak priyayi yang dalam cerita  akhirnya mendirikan media massa untuk menyuarakan pendapat bangsa yang terjajah pemerintah Belanda. Usut punya usut ternyata tokoh Minke ini tokoh asli yang di rekayasa oleh Pramoedya. Tokoh ini bernama Tirto Adhi Soerjo seorang anak bupati yang mendirikan koran berjudul Medan Prijaji. Nah dari sinilah saya penasaran siapa sebenarnya Tirto itu, makanya saya pengen main ke Monumen Pers

niy koran pasca proklamasi
Kesan pertama berkunjung ke Monumen Pers ini adalah lengang, meski saya kesitu sudah hari ke 3 pameran di buku tamu (yang pengunjung wajib mengisi) baru ada sekitar 70 orang. Artinya dalam sehari paling banter 20 orang saja. Setting Monumen Pers ketika saya berkunjung saya pikir memang kurang menarik. Dari pintu masuk di sebelah kanan ada display koran terbitan sebelum kemerdekaan, dan disini saya merinding karena melihat bentuk koran asli yang sebelumnya saya baca di novel Bumi Manusia. Koran-koran zaman dahulu ternyata berukuran besar dengan cetakan huruf yang besar pula. Koran pertama yang saya lihat adalah Fikiran Rakyat yang terbit tahun 1932. Bisa dibilang ga terlalu lama siy, karena menurut obrolan saya dengan pegawai situ kalo koran koleksi Monumen Pers yang paling lama adalah terbitan tahun 1917. Nah selanjutnya adalah koran De’Locomotief terbitan tahun 1938. Kalau teman-teman masih ingat, pendiri koran ini adalah Douwes Dekker dan kawan-kawan yang merupakan pendiri partai politik pertama di Indonesia bernama Indische Party (IP). Di novel Rumah Kaca yang juga merupakan Tetralogi Pulau Buru diceritakan kalo IP berisikan tokoh-tokoh peranakan belanda dengan prijaji yang memperjuangkan hak-hak politik rakyat biasa. Meski begitu Partai ini tak mendapat banyak sambutan selain karena anggotanya yang kebanyakan bangsawan koran ini juga tidak punya organisasi yang besar. 

Di sisi ini juga ada koran pertama yang terbit setelah proklamasi kemerdekaan yaitu 18 Agustus 1945. Nama korannya yaitu Asia Raya, dan takjub rasanya melihat koran dengan teks proklamasi asli yang dimuat dalam koran itu. Membayangkan bahwa koran tersebut yang membawa berita tentang kemerdekaan Republik sungguh mendebaran. Dengan penyebaran kata-kata dari sini Republik akan memulai babak baru kehidupannya.

Dari koleksi koran lama tersebut di depannya ada patung tokoh-tokoh Pers Nasional. Beberapa yang saya baca yaitu Douwes Dekker, Dr Cipto dan yang lain tidak sempat saya baca. Belum ketemu juga si Minke ini rupanya meski sudah beberapa nama tokoh itu menyebut dirinya. Berlanjut ke tengah ruangan ada koran-koran dari era kemerdekaan hingga reformasi, isinya mengenai kebangsaan sesuai tema pameran yaitu kebhinekaan. Masuk ke dalam di sebelah kanan ada diorama tentang sejarah pers Indonesia. Diorama sendiri meski kotaknya bagus dan pakai lampu tapi sayangnya udah ga bisa di play suaranya. Diorama sejenis pernah saya lihat di Benteng Vradenberg Jogja, kalo boleh bandingin yang di Monumen Pers ini terlihat kurang terawat. Pemerintah kota Solo yang sekarang harus bisa memperhatikan niy agar bisa lebih baik kedepannya. Di sayap sebelah kiri ruangan ada diorama juga dan ada slide show yang diputar lewat LCD tentang keberadaan monumen pers itu. Entah siapa yang lihat saya pikir sia-sia aja dinyalain kalau ga ada yang nonton hehehe… 

inilah si Minke itu
Nah balik lagi sekarang ke sayap kiri ruangan selain koran lama ada Radio zaman dahulu yang ukurannya besar, namanya radio kambing. Dari keterangan radio tersebut digunakan untuk mengelabui tentara Belanda tahun 48-49 ketika RRI solo dihancurkan. Di tempat ini pula saya menemukan wajah Tirto Adhi Soerjo alias Minke. Tokoh berkumis ini disebutkan sebagai pendiri Koran pribumi pertama persis seperti yang diceritakan dalam novelnya Pramoedya. Beliau juga disebutkan sebagai pendiri Sjarikat Islam organisasi kebangsaan pertama yang berdiri di Republik. Wow sekali ketika melihat patung tokoh ini, bagi saya dia orang yang berani dan memperjuangkan bangsa lewat tulisan meski zaman belum mengizinkan.

plat cetakan koran KR
Keluar ruangan utama ada 1 ruangan lagi, disini juga ditampilkan koran serta majalah sejak zaman kolonial hingga orde baru. Berbeda dengan ruangan utama Monumen Pers yang terang benderang, ruangan ini nampak gelap serta berdebu. Selain koran ada juga simpanan berupa mesin ketik, alat dokumentasi koran dari masa lampau hingga digital serta ada peninggalan wartawan yang meliput di Timor-timur. Entah siapa tokoh ini dari pakaian, kamera, sampai helmnya ditaruh di satu lemari khusus. Saya menduga siy berbau rezim Orba niy :D . di pojok ruangan ada plat hitam cetakan koran pertama Kedaulatan Rakyat, koran yang sampai hari ini masih terbit dan bermarkas di Jogjakarta. Unik karena ditempatkan bersama dengan kamera-kamera zaman dahulu serta ada kamera manual yang ukurannya besar sekali. Bisa dibayangkan repotnya jurnalis zaman dahulu kalo bawa kamera sebesar itu, pasti repot banget.

Lanjut ke lantai dua ada perpustakaan nasional, ukurannya tidak begitu besar dan menurut saya koleksi bukunya kurang banyak dibanding perpustakaan UNS. Saya kira bakal menemukan buku/koleksi koran aslinya disitu tapi setelah saya puter-puter memang tidak ada. Mungkin memang disimpan di ruangan berbeda. Di sebelah perpustakaan tadi ada ruang digital library, saya juga belum sempat masuk situ selain tidak menarik ruangannya juga pegawai yang ada di dalam tidak menyambut dengan ramah alias sibuk sendiri.

Demikian cerita kunjungan saya ke Monumen Pers Solo yang berkesan itu. Bagi saya punya museum sebagus ini jangan sampai disia-siakan untuk sekedar berkunjung. Untuk informasi saja Monumen Pers ini biaya masuknya tidak ada alias gratis. Selain belajar sejarah bisa juga mengakses internet di media centrenya. Monumen pers ini buka dari hari Senin-Jumat jam 09.00-16.00 . Saran saya siy promosi dari pihak yang berkepentingan untuk Monumen Pers ini termasuk warganya sangat penting. Eman rasanya kalo Monumen Pers ini sepi pengunjung. Bukankah bangsa yang besar adalah yang menghargai sejarahnya?

Share:

2 comments

  1. bner bgtz..jgn mlupakan sjarah..

    asyik ne,bisa singgah di msuem sjarah..smga ada ksmpatan,bsa brkunjung ksna..

    ReplyDelete
  2. iya niy, merasa berdosa karena baru sermpat ke monumen pers setelah gede. padahal dari kecil saya di solo :)

    aminn, semoga bisa main kesini mbak :)

    ReplyDelete