Freeport dan Kekerasan di Papua
Aksi solidaritas Papua di Jakarta (foto: Sekber Buruh) |
Awal Minggu lalu masyarakat dikejutkan dengan tewasnya warga Papua oleh penembak gelap dan serentetan aksi teror.
Terlepas dari siapa yang salah dalam kasus ini, publik kembali diingatkan bahwa kasus yang
terjadi di Papua dan khususnya masalah keberadaan Freeport di sana adalah
masalah yang saling berkaitan. Tidak kurang dari mahasiswa,
kalangan aktivis hingga pemuka agama mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai
kerap berpihak kepada kepentingan pemilik modal daripada masyarakat Papua. Aksi untuk mendukung
pengusutan tuntas kasus kekerasan di Papua serta renegosiasi kontrak Freeport kerap diwacanakan baik itu di diskusi, seminar maupun demonstrasi di
jalan. Tulisan ini coba menelusuri bagaimana sebenarnya awal keberadaan
Freeport di Indonesia dan apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
Sejarah awal berdirinya Freeport tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa Gerakan
30 September (G30S) tahun 1965. Setelah presiden pertama Ir.Soekarno pada
tahun 1963 menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di
Indonesia, ada kekhawatiran dari negara maju yang saat itu terbagi menjadi 2
blok, yaitu Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang didominasi
Uni Soviet dan Cina. Mereka melihat Indonesia mempunyai potensi yang besar baik
dalam hal sumber daya alam maupun manusianya. Artikel Lisa Pease yang dimuat
dalam majalah Probe berjudul JFK, Indonesia, CIA dan Freeport dan
disimpan di National Archive Washington DC, menuliskan bahwa sejak kebangkrutan Freeport di Kuba karena adanya Revolusi Kuba yang dipimpin Fidel Castro, pimpinan Freeport berusaha mencari ladang emas lain. Pilihannya jatuh di belahan bumi
Asia termasuk Indonesia yang saat itu belum terjamah. Dari situ skenario
dirancang agar Sumber Daya Alam di bumi Indonesia bisa jatuh kedalam pelukan Blok Barat tanpa melakukan intervensi militer secara langsung, mengingat ada ancaman perang
nuklir dari kedua blok
Petinggi Freeport dan Pemerintah Amerika Serikat berpendapat
dengan melakukan kontak kepada para elit perwira dalam tentara dan memanfaatkan
situasi politik Indonesia yang saat itu sedang panas, maka kejatuhan
Soekarno yang lebih condong ke Blok Timur tinggal menunggu waktu. Benar saja setelah tragedi G30S terjadi serangkaian peristiwa yang endingnya adalah jatuhnya rezim Orde Lama. Setelah pidato pertanggungjawaban Soekarno ditolak oleh MPR pada
tahun 1966, maka kekuasaan berpindah kepada Soeharto seorang perwira angkatan darat TNI yang kemudian dikenal
dengan Pemerintahan Orde Baru. Satu tahun Pemerintahan Orde Baru berjalan, Undang-Undang
yang pertama kali disahkan adalah UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (PMA) yang kemudian menjadi legitimasi Freeport untuk mengeruk kekayaan
emas dan tembaga di bumi Papua. Dari sepenggal sejarah yang tertulis di atas
kita dapat mengetahui bahwa kepentingan korporasi lewat pemerintah pusat lebih
mendominasi daripada suara warga masyarakat Papua
Keberadaan Freeport pertama kali ditentang penduduk asli Papua
pada tahun 1977 dengan cara memotong pipa saluran konsentrat untuk mencari
sisa-sisa emas, namun hal ini kemudian direspon dengan penembakan aparat
keamanan kepada warga yang menimbulkan korban di pihak masyarakat namun jarang
diekspos oleh pemerintah. Meskipun begitu warga asli Papua tidak begitu saja
berhenti menggelar aksi menentang keberadaan Freeport dengan berbagai cara.
Hal inilah yang mengakibatkan Papua ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menjadi
Daerah Operasi Militer pada tahun 1978 untuk melindungi kepentingan Korporasi di sana. Kekerasan yang terjadi di sekitar Freeport yang melibatkan aparat keamanan disanapun semakin menjadi sejak diberlakukannya
kebijakan tersebut.
Data yang dikeluarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI ) bahwa
50 persen penduduk kabupaten Jayawijaya tempat beroperasinya Freeport ternyata
masih berada di bawah garis kemiskinan. Indeks Pembangunan Manusia Papua yang
indikatornya adalah kesehatan dan pendidikan-pun menempati urutan 27 atau
urutan lima dari bawah di antara penduduk Indonesia di wilayah lain. Jika
melihat data tersebut pula kemarahan penduduk asli Papua menjadi wajar.
Bagaimana mungkin daerah dengan penghasil emas terbesar di dunia justru menjadi
daerah termiskin? Kemana kekayaan alam yang seharusnya mereka peroleh? Saat ini
Freeport hanya memberi 1 persen pajak kepada pemerintah dari laba sebesar
800 juta dolar AS pertahun. Ini diperparah dengan rendahnya upah terendah
pekerja Freeport hanya 6 juta rupiah perbulan dibandingkan 30 kali lipat upah
para pekerja Freeport di negara asalnya.
Pasca reformasi Pemerintah bukan tidak merespon keinginan warga Papua untuk
menjadi lebih sejahtera. Setelah ditetapkannya Papua sebagai Daerah Otonomi
khusus dengan UU no 21 tahun 2001 anggaran untuk kesejahteraan rakyat Papua
ditingkatkan hingga puluhan triliyun di luar dana APBD dan Dekonsentrasi. Namun
10 tahun berjalan kebijakan tersebut ternyata belum cukup untuk menyelesaikan
permasalahan kesejahteraan di Papua. Ini dikarenakan pendekatan yang dilakukan
pemerintah pusat tetap bersifat otoriter dan tidak memperhatikan kondisi Papua
secara menyeluruh
Jika kita melihat studi kasus yang pernah terjadi di
negara-negara Amerika Latin dimana perusahaan-perusahaan besar milik asing
menguasai hampir seluruh kekayaan alam mereka, seorang ekonom James
Petras dalam bukunya Imperialisme abad 21 menulis bahwa 80 persen kekayaan yang
dimiliki oleh perusahaan seperti Freeport di Amerika Latin tidak membawa
kesejahteraan bagi masyarakat asli, yang terjadi adalah peminggiran peran
masyarakat asli baik dengan cara kekerasan atau marjinalisasi lewat peraturan.
Maka ketika terjadi gerakan nasionalisasi yang dimulai di Venezuela, Bolivia
dan Argentina sejak akhir 1999 ada peningkatan kesejahteraan masyarakat di
sana.
Saat ini fakta yang terjadi di Venezuela dan Bolivia mereka
berhasil menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan bagi seluruh warganya
dari hasil menjual kekayaan alamnya lewat program nasionalisasi perusahaan
asing. Meski tidak persis sama namun ada persamaan kondisi antara yang terjadi
di Papua dengan negara seperti Bolivia dimana sumber daya alam yang tidak dapat
dinikmati penduduk asli dan sikap keberpihakan negara yang lebih menguntungkan
korporasi asing
Solusi bagi masalah Papua dapat diselesaikan dengan solusi yang menyeluruh bagi
masyarakat Papua. Yang pertama adalah Nasionalisasi Freeport dan perusahaan
asing lain yang bercokol di Papua menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Keberadaan korporasi asing inilah sumber utama dari berbagai konflik yang menyangkut masalah kesejahteraan. Yang kedua adalah pelibatan masyarakat yang lebih luas dalam setiap kebijakan
yang menyangkut Papua haruslah menjadi prioritas. Tentu pendekatan yang dipakai
bukanlah pendekatan kekerasan yang selama ini digunakan oleh pemerintah pusat
namun pendekatan dialog dan mengedepankan kepentingan masyarakat Papua termasuk
peninjauan ulang Otonomi Khusus Papua dan solusi terakhir yang juga tidak kalah penting
adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua selama rezim
Orde Baru maupun Pasca Reformasi untuk memulihkan kepercayaan masyarakat Papua
terhadap Pemerintah.
Tags:
Aksi
aktivis
Anti globalisasi
Freeport
HAM
hukum
indonesia
Kapitalisme
Kekuasaan
Papua
rakyat
reformasi
wacana
0 comments