Mengkaji UU Dikti : Sekali lagi, Bahaya Privatisasi ! *
Undang Undang Pendidikan Tinggi (UU
Dikti) yang telah disahkan oleh DPR pada Jumat 13/8/2012 lalu menimbulkan banyak
kontroversi. Di tengah berbagai penolakan yang belum tuntas mengenai masalah
pendidikan tinggi UU ini disahkan dan harus dilaksanakan paling lambat dua
tahun sejak diundangkan. UU Dikti ini sebenaranya adalah pengganti Undang Undang
Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
beberapa waktu lalu karena isinya dianggap tidak sejalan dengan konstitusi
karena bermuatan komersialisasi dan privatisasi pendidikan tinggi. Lalu bagaimana
dengan UU Dikti ini, apakah isinya telah berbeda dengan UU BHP?
Jika kita mencermati pasal-pasal
yang ada dalam UU Dikti ini ternyata juga masih menyimpan muatan pelepasan
tanggung jawab negara terhadap hak warga negaranya memperoleh akses pendidikan khususnya
pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 73 tentang Penerimaan
Mahasiswa Baru dalam ayat (1) disebutkan bahwa Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan
melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain. Dalam penjelasan
UU Dikti tersebut disebutkan bahwa bentuk lain yang dimaksud adalah ujian
mandiri yang diselenggarakan oleh universitas masing-masing. Untuk diketahui
pelaksanaan ujian mandiri yang telah berjalan beberapa tahun ini mematok perbedaan
biaya yang besar dalam prakteknya. Perbedaan biaya antara jalur nasional atau
yang sekarang disebut SNMPTN dengan mahasiswa yang diterima lewat ujian mandiri
ini bisa sampai 3 kali lipat di beberapa kampus yang menyelenggarakannya seperti
UI, ITB,Undip, UNS, Unair dan lain-lain. Biaya kuliah lewat ujian mandiri ini
berkisar mulai dari 20 juta rupiah hingga 150 juta rupiah tergantung fakultas
dan jurusan yang dipilih. Pelepasan tanggung jawab pemerintah ini juga
diperjelas pada ayat berikutnya dalam pasal yang sama bahwa Pemerintah
menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa
baru secara nasional. Artinya pemerintah tidak akan menanggung biaya calon
mahasiswa yang dilakukan melalui Ujian Mandiri. Ini tentu mengherankan karena
isinya tidak jauh berbeda dengan UU BHP yang telah dibatalkan itu.
Upaya privatisasi dan liberalisasi
pendidikan tinggi tidak berhenti di situ saja, dalam pasal 74 ayat (1) yang
berbunyi : PTN wajib mencari dan
menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang
mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan
tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh
Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi. Sepintas
memang ada jaminan dari pemerintah untuk menjamin mahasiswa yang tidak mampu
secara ekonomi mengakses biaya pendidikan tinggi namun ini sebenarnya adalah
ayat yang merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi
hak warganya. Kata-kata “memiliki potensi akademik tinggi” tentu tidak mudah
ditafsirkan indikatornya dan bagaimana pula akses untuk mahasiswa yang
kemampuan akademiknya “ biasa saja” namun tidak mampu secara ekonomi? Apakah pemerintah
sedang menerapkan asas yang miskin biarkan tetap miskin, kecuali yang pintar
baru bisa kuliah? Jelas ini bertentangan dengan mengenai Hak Ekonomi Sosial
Budaya yang telah diratifikasi pemerintah dengan UU No 11 tahun 2005,
menyebutkan bahwa Pemerintah harus mengupayakan akses pendidikan tinggi secara gratis
bagi setiap warganya.
Hal berikutnya yang bisa
dikritisi dalam UU Dikti ini adalah tentang Pemenuhan hak Mahasiswa yang diatur
dalam pasal 76. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah / pemerintah daerah /
universitas berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara
ekonomi yang diterangkan dalam ayat selanjutnya. Namun yang harus diperhatikan
adalah huruf (c) dimana bentuk pemenuhan tersebut bisa diberikan pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi
setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan. Melihat Data BPS tahun 2011
bahwa pengganguran terbesar berasal dari kalangan sarjana maka menjadi pertanyaan
jika setelah lulus mahasiswa tersebut tidak mendapat pekerjaan, Bagaimana mahasiswa
yang tidak mampu ini akan membayar pinjaman kuliahnya ? apakah menyita harta
keluarganya? Lalu pertanyaan berikutnya jika pinjaman tersebut tanpa bunga, apakah
dimungkinkan hutang tersebut dibayar dengan sisten cicilan meningkat seperti
kredit konsumsi yang jamak ditemui di kehidupan masyarakat? Sudah sedemikian
parahkan mentalitas pembuat UU Dikti ini sehingga mengharuskan warganya belajar
berhutang sejak kuliah?
Ketidak jelasan pemerintah dalam
menjamin pemenuhan hak pendidikan warga negaranya juga dapat dilihat dalam Pasal
83 dan 84 tentang Pendanaan dan Pembiayaan. Dalam pasal tersebut tidak jelas
disebutkan berapa prosentase pemerintah serta masyarakat untuk berperan dalam
pembiayaan perguruan tinggi. Bagaimana jika pemerintah beralasan tidak mampu
membiayai karena anggaran negara yang habis? Apakah masyarakat juga yang harus
menanggung? Semangat liberalisasi pendidikan tinggi ini juga tampak dalam pasal
85 ayat (2) yang berbunyi Pendanaan
Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung
oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau
pihak lain yang membiayainya. Lantas dimana peran pemerintah jika semua
ditanggung masyarakat? Dan apa yang dimaksud dengan pihak lain? Tidak ada
kejelasan dalam penjelasan UU Dikti yang penyusunannya telah diprotes banyak
pihak ini.
Kata kunci dari upaya komersialisasi
pendidikan tinggi oleh pemerintah ini tertuang dalam pasal 89 ayat (2) yang
berbunyi Dana Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk PTN badan hukum diberikan
dalam bentuk subsidi dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Menjadi kata kunci karena disitu terdapat kata subsidi
dimana kata ini merupakan kata-kata titipan ideologi neoliberalisme. Subsidi menjadi
pembenar bahwa uang yang digunakan untuk memenuhi hak warga negara adalah beban
bagi keuangan negara sehingga sewaktu-waktu subsidi dapat dicabut oleh
pemerintah dengan berbagai alasan (harga Bahan Bakar Minyak yang juga dianggap
subsidi bisa menjadi contoh). Memandang pendidikan sebagai jasa tidak bisa
dilepaskan juga dari kesepakatan GATS yang juga ditandangani pemerintah. Pendidikan
dianggap sebagai salah satu sektor yang bisa dijadikan komoditas untuk
kelanggengan sistem pasar global. Sejak jatuhnya
krisis ekonomi tahun 70an di Amerika serta Eropa, perusahaan yang didukung negara-negara
maju memasukkan sektor jasa sebagai barang dagangannya. disamping pendidikan sektor
yang lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti kesehatan juga
dianggap sebagai beban bagi negara.
Tampaknya pemerintah tidak
belajar dari pembatalan UU BHP yang lalu. Semangat komersialisasi serta
liberalisasi masih menjadi semangat disusunnya UU ini. Padahal dari pembatalan
yang dilakukan oleh MK terhadap UU BHP disitu disebutkan bahwa pemenuhan hak
pendidikan warga negara baik secara ekonomi, sosial dan budaya adalah kewajiban
pemerintah untuk memenuhinya. Selain termuat dalam isi UUD 1945 serta dalam
Undang Undang Sisdiknas Hal ini tentu sesuai dengan semangat para pendiri
bangsa yang menyatakan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan
dimerdekakannya negara ini yang termuat dalam pembukaan UUD 1945. Jika kemudian
biaya pendidikan khususnya pendidikan tinggi dilepaskan tanggung jawabnya oleh
pemerintah, serta tidak semua warga bisa mengaksesnya maka kita patut bertanya bangsa
yang mana yang dibela pemerintah saat ini?
* Dimuat di harian Joglosemar dengan judul Mengkaji UU Dikti, Orang Miskin Dilarang Kuliah Sabtu,21/7/2012
* Dimuat di website Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) : http://www.prp-indonesia.org/2012/uu-dikti-orang-miskin-dilarang-kuliah pada 25/07/2012
Tags:
Aksi
aktivis
Anti globalisasi
artikel
BBM
Demonstrasi
globalisasi
Konstitusi
pemerintah
Perguruan Tinggi
Privatisasi
subsidi
UU BHP
UU DIKTI
UU PT
0 comments