Milad HMI ke 65: Refleksi Gerakan Mahasiswa Islam
Markas HMI Cabang Surakarta |
Bertepatan
dengan perayaan Maulid Nabi yang jatuh pada tanggal 5 Februari tahun ini
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga merayakan hari jadinya yang ke 65.
Berbicara tentang organisasi mahasiswa yang usianya hampir sama dengan usia
republik ini pastilah akan sangat banyak tema baik pemikiran maupun tema gerakan
yang bisa diangkat. HMI yang lahir ditengah pergolakan bangsa pasca kemerdekaan
pada tahun 1945 silam bertujuan awal sebagai wadah bagi mahasiswa Islam untuk
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia serta meninggikan derajat umat
Islam yang saat itu masih dirundung kemiskinan serta kebodohan akibat
penjajahan Belanda. Meski menghadapi
berbagai tantangan baik dari eksternal umat Islam maupun intern umat Islam HMI
yang semula hanya mempunyai satu kantor cabang di Yogyakarta sekarang telah
menjadi organisasi mahasiswa yang terbesar dan tertua dengan lebih dari 100
Cabang dan puluhan ribu kader di seluruh Indonesia.
Dalam perjalanannya tujuan HMI berubah menjadi terbinanya Insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. HMI juga menyebutkan dalam Anggaran Dasar pasal 9 bahwa HMI berperan sebagai organisasi perjuangan. Perjuangannya sebagai organisasi mahasiswa adalah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Namun demikian fakta yang saat ini ditemui belumlah seperti yang diharapkan dalam konstitusinya. Di usianya ke 65 HMI ada kegelisahan yang dituliskan oleh Agussalim Sitompul seorang sejarawan dalam bukunya 44 Indikator Kemunduran HMI bahwa saat ini kader- kader HMI minim sekali gagasan segar yang bersentuhan langsung dengan masyarakat serta umat. Dalam berbagai acara HMI masih sering mengenang kejayaan Nurcholis Madjid dkk di era tahun 70-an yang mengusung pemikiran Islam Indonesia Modern, dimana Cak Nur mendapatkan insipirasinya ketika dia dulu masih aktif di HMI. Setelah itu pada era 80-an HMI seolah tidak muncul di permukaan karena disibukkan dengan urusan internal organisasi yang tidak produktif.
Pasca
reformasi keadaan tidak jauh berbeda, meski secara kuantitas anggota HMI bertambah
namun secara kualitas kader HMI saat ini belum teruji secara nyata peranannya di
kehidupan umat, berbangsa dan bernegara. HMI bisa dikatakan organisasi yang
tidak menarik lagi untuk mahasiswa mengembangkan diri di kampus bahkan yang
lebih ironis HMI hanya dianggap sebagai batu loncatan untuk karier politik
mahasiswa sebelum terjun ke dunia politik selanjutnya. Belum lagi jika
dikaitkan dengan perilaku alumni HMI yang terjerat kasus korupsi di berbagai
daerah, meski tidak bisa memukul rata bahwa ini akibat berproses di HMI namun ini
menjadikan HMI mempunyai “beban sejarah” yang harus diselesaikan dengan segera.
Di tengah kondisi carut marutnya negara yang seolah tanpa pemimpin sekarang dibutuhkan suatu perubahan yang menyeluruh dalam segala aspeknya. Meski pertumbuhan ekonomi yang diklaim pemerintah stabil namun masih tingginya angka kemiskinan, besarnya pengangguran serta maraknya korupsi bisa menjadi refleksi mengapa agama Islam yang dianut mayoritas rakyat Indonesia belum mampu berbuat banyak untuk mengatasinya. Liberalisasi di bidang ekonomi, politik dan budaya membuat seakan Negara tidak berdaya menghadapi perubahan yang begitu cepat. Begitu pula dengan HMI jika organisasi itu tidak tanggap terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya dan hanya mengandalkan nama besarnya maka akan mati dengan sendirinya.
Kondisi mahasiswa Islam yang tergerus oleh derasnya arus globalisasi seolah setali 3 uang dengan kondisi masyarakat yang sekarang cenderung apatis terhadap permasalahan bangsa dan umat. Gejala ini sangat berbahaya karena menyebabkan kaum intelektual tersebut tercerabut dari akar masyarakat serta agamanya. Ali Syariati dalam bukunya Ideologi Kaum Intelektual mengatakan bahwa tugas kaum intelektual Islam adalah melanjutkan misi islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Islam yang dimaksud bukan sebagai agama yang membuat candu bagi pemeluknya sebagaimana dikritik oleh Karl Marx ketika agama digunakan hanya untuk legitimasi mempertahankan struktur kekuasaan raja dan pemodal. Bukan pula Islam yang hanya menjadi formalitas belaka ketika dijadikan hukum dalam Peraturan Daerah tanpa mempertimbangkan aspek substansialnya, namun lebih besar dari itu Islam yang diperjuangkan adalah Islam yang berpihak pada kaum yang tertindas. Islam yang bersumber dari ajaran-ajaran dasar Islam tentang persaudaraan universal (Universal Brotherhood), kesetaraan (Equality), keadilan sosial (Social Justice),dan keadilan ekonomi (Economical Justice) sebagaimana tersebar dalam ayat-ayat Al-Quran. Keberagaman masyarakat yang sejak dulu ada di Masyarkat Indonesia dan sudah dibukanya keran demokrasi pasca reformasi menjadikan modal tambahan bagi terjadinya perubahan sosial yang berlandaskan Islam
Berkaca pada revolusi di benua Arab dimana kaum intelektualnya berhasil mengorganisir masyarakat untuk memperjuangkan haknya, tidak mustahil juga dilakukan oleh kader-kader HMI dengan banyaknya kader yang dimiliki. Gerakan HMI dengan usianya yang tidak muda lagi sekarang juga musti diperluas tidak hanya berkutat di masalah pemikiran intelektual namun sudah saatnya kembali turun ke masyarakat dan umat dengan bekal yang dimilikinya. Kader-kader HMI tidak cukup menjadi intelektual di menara gading yang turun hanya ketika kondisi bangsa sudah sekarat namun juga harus menciptakan kesadaran yang tumbuh terus-menerus dari proses belajar langsung di masyarakat. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar serta membutuhkan pengorbanan yang besar. Untuk itu dibutuhkan kesadaran yang penuh komitmen tentang keberpihakan yang jelas kepada kaum mustadafin dari setiap kader yang berproses di HMI. Kritik dan otokritik dalam pelaksanaan haruslah yang benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan tidak lagi perdebatan yang tidak produktif bagi kemajuan umat. Hal ini bisa menjadikan HMI dengan nilai-nilai ke-islaman, ke-mahasiswaan dan ke-Indonesianya menjadi motor gerakan sosial baru demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dukungan dari semua pihak yang terkait di HMI seperti alumni bisa dilibatkan sepanjang tidak mempengaruhi independensi HMI baik secara etis dan organisatoris yang djunjung selama ini.
Usia 65 tahun bukanlah usia yang pendek untuk ukuran sebuah organisasi mahasiswa. Tanpa menafikkan proses sejarah HMI yang lalu serta pelaku gerakan dan pemikir yang saat ini masih aktif terserak di HMI, rumusan gerakan sosial baru yang berlandaskan Islam tanpa melupakan jati diri bangsa Indonesia perlulah direalisasikan sesegera mungkin di HMI. Agar HMI kembali menjadi organisasi mahasiswa Islam yang ideal dan kelak kader-kadernya menjadi pemimpin di segala sektor yang selalu memperjuangkan kepentingan umat. Sebagai penutup semoga HMI dapat benar- benar menjadi Harapan Masyarakat Indonesia sebagaimana pernah dikatakan Jendral Soedirman. Selamat milad ke 65 HMI, Yakin Usaha Sampai
Tags:
aktivis
Demonstrasi
HMI
indonesia
institusi
Intelektual
islam
kader
nasionalisme
pemerintah
Solo
wacana
0 comments