Perangkap Kapitalisme dalam MDG's*
Menilik sejarahnya MDG
sendiri dibentuk pada tahun 2000 dimana MDG bermula dari KTT Milenium yang
diselenggarakan PBB pada September 2000 dengan hasil Deklarasi Milenium. Pada
sidang PBB ke 56 tahun 2001, Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan laporan
dengan judul Road Map Towards the Implementation of the UN
Millennium Declaration. Laporan ini memuat upaya pencapaian delapan
sasaran pembangunan dengan 18 target dan 48 indikator pada tahun 2015 yang
kemudian dikenal sebagai Millennium Development
Goals (MDGs). Meski sekilas terlihat bertujuan mulia namun dalam
sebenarnya keberadaan MDG ini tidaklah sesuci yang dibayangkan. “ There is no free lunch” begitu bunyi
pepatah kuno ketika suatu kebijakan dibuat oleh negara-negara maju.
Kesepakatan yang ada
dalam MDG lebih tepat disebut penjajahan baru dari negara maju yang
dilegitimasi oleh PBB. Ini dapat dilihat dalam poin-poin MDG yang memposisikan
negara maju dapat membantu negara berkembang menyelesaikan masalah kemiskinan
lewat penanaman investasi, pembukaan sektor-sektor penting ke pasar serta
peminjaman hutang luar negeri. Ketimpangan pendapatan penduduk negara maju dan
berkembang yang mencapai 1 banding 72 memberi harapan bahwa negara maju dapat menyelesaikan
problem ekonomi dan sosial dunia. Tidak heran tiga penyokong dana terbesar MDG
adalah Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan World Trade
Organization (WTO( yang selama ini didominasi pemilik-pemilik korporasi dari
negara maju yang juga dikenal sebagai pengekspor paham globalisasi.
Dari ketiga lembaga
inilah kemudian negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus menjalankan
syarat yang sebenarnya dipaksakan oleh negara maju. Berlandaskan pada point 8
MDG yaitu mengembangkan kerjasama global
untuk pembangunan maka negara yang menyepakati MDG dijajah kembali tanpa
sadar oleh negara-negara maju. Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai
penduduk dengan potensi pasar yang besar untuk membeli produk yang dikembangkan
di negara maju. Sebagai negara berkembang pula Indonesia diwajibkan berhutang
kepada negara maju untuk terus memutar uang yang ada di pasar saham global agar
negara maju tidak terjebak dalam krisis ekonomi. Untuk meluaskan pasar dan
menekan harga maka negara majupun tidak segan-segan menekan negara berkembang
dengan alasan investasi untuk memberlakukan upah tenaga kerja yang murah serta
diperbolehkannya sistem tenaga kerja outsourcing
Namun alih-alih negara
maju mencapai tujuannya ini mereka justru terjebak sendiri dalam krisis
ekonomi. Krisis ekonomi yang menerpa Amerika Serikat (AS) serta negara-negara
Eropa sejak tahun 2008 akibat kredit macet perumahan di AS mengakibatkan jutaan
orang kehilangan lapangan pekerjaan serta meningkatnya jumlah hutang dalam
negeri. Kedatangan krisis ekonomi yang lebih cepat dan tidak diperkirakan
sebelumnya berasal dari krisis over produksi di negara maju. Imbasnya Amerika
Serikat sebagai contoh mengalami hutang luar negeri yang cukup parah mencapai
hingga 1,294 trilyun dollar dengan jumlah pengangguran meningkat hingga 13 juta
orang yang terungkap dalam tahap kampanya pemilu pilpres nya. Di benua Eropa, negara
Spanyol yang juga dikenal sebagai negara dengan ekonomi kuat di Eropa juga
terjerembab dalam krisis yang mengakibatkan 24,6 persen warganya menganggur
(Antara News 27/8). Krisis ekonomi ini juga merembet hingga negara-negara Eropa
lain hingga harus Uni Eropa (UN) harus meminta bantuan dari negara-negara Asia
untuk menyelesaikan permasalahan. Dalam laporan tengah tahun UN melaporkan total
jumlah pengangguran di Eropa mencapai hingga 17, 5 juta orang, angka paling
besar sejak resesi di awal abad 21 lalu. Jelaslah bahwa kontradiksi dalam
sistem kapitalisme global sekarang yang dijelaskan oleh Joseph Stiglitz mantan
direktur Bank Dunia dalam bukunya Globalization
and its Discontent tidak bisa menemui jalan keluar kecuali merombak ulang
struktur dasar ekonominya
Dengan melihat kondisi
ekonomi global diatas maka kebijakan ekonomi Indonesia pun mengalami perubahan
mendadak. Diberlakukannya percepatan MP3EI yang tiba-tiba oleh Pemerintahan
SBY-Boediono menggambarkan betapa negara-negara berkembang harus segera
mempercepat liberalisasi ekonominya untuk menyelamatkan perekonomian negara
maju. Adanya percepatan realisasi MP3EI maka hasil produksi dari negara maju
dapat segera dikonsumsi oleh kita karena indikator keberhasilan
MP3EI sebatas pada pelaksanaan tiga pilar, yaitu pengembangan potensi ekonomi di enam koridor, penguatan konektivitas
nasional dan internasional, serta memperkuat kemampuan sumber daya manusia
nasional serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebijakan ini dibuat seakan
tanpa memperhatikan kemampuan industri dalam negeri dimana kita belum mampu
bersaing dengan negara maju jika tak ada proteksi dari pemerintah.
Kegagalan MDG terletak
bukan hanya karena implementasi yang kurang baik serta kurangnya peran
masyarakat di negara berkembang. Keberadaan MDG sendiri menjadi masalah ketika
struktur dasar kepemilikan ala kapitalisme negara maju ini masih diberlakukan.
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berdasarkan keuntungan yang selama ini
sudah terasa pengaruhnya di Indonesia lewat liberalisasi sektor-sektor penting
(pendidikan kesehatan, air, SDA) hal ini tidak akan bisa menyelesaikan masalah
namun justru membuat masyarakat semakin terpuruk. Kebijakan RSBI misalnya
justru bertentangan dengan semangat menyediakan akses pendidikan bagi warga
tidak mampu. Terjadinya diskriminasi pembiayaan antara satu sekolah dengan
sekolah lain mengakibatkan masyarakat tidak mampu mengakses pendidikan. Di
bidang kesehatan pun setali tiga uang, pasca disahkannya UU kesehatan justru
mengakibatkan biaya berobat masyarakat semakin jauh dari murah. Kedua sektor
yang diprivatisasi ini tidak bisa dilepaskan dari kesepakatan WTO bahwa sektor
jasa yang harus dikurangi subsidinya oleh negara meliputi antara lain sektor
kesehatan dan pendidikan.
Sudah saatnya kita
lepas dari bayang-bayang MDG dan mengganti sistem ekonomi global
(baca:kapitalisme) yang tidak adil ini. Kita harus membuka mata bahwa sistem
ekonomi berdasarkan keserakahan yang berjalan di muka bumi ini.telah
mengakibatkan jutaan orang di penjuru dunia tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya dan ini bertentangan dengan fitrah manusia sebagai pemakmur. Dibutuhkan
sistem ekonomi baru yang berlandaskan pada hakekat kemanusiaan sebagai makhluk
Allah SWT, untuk mencapai keadilan sosial dan distribusi kemakmuran serta berdasarkan
kebutuhan bukan dengan motif keuntungan apalagi keserakahan. Wallahualam
* Dimuat di Harian Joglosemar 3 Oktober 2012
* Dimuat di Harian Joglosemar 3 Oktober 2012
Tags:
Aksi
aktivis
Anti globalisasi
artikel
bantuan hukum
buruh
imperialisme
indonesia
korporasi
Neoliberalisme
pemerintah
0 comments