Bagaimana nasib pembatasan BBM bersubsisdi?

Setelah ditolaknya kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1500 oleh tekanan masyarakat dan disepakati oleh DPR pada 30 Agustus lalu, terjadi wacana yang hangat di masyarakat mengenai BBM bersubsidi. Meski tidak ditolak sepenuhnya karena Pemerintah memasukkan Ayat “siluman” 6a dalam UU APBN yang mengatakan bahwa Pemerintah dapat menaikkan/menurunkan harga BBM jika harga rata-rata ICP turun atau naik sebesar 15 persen. Sementara menunggu hasil perhitungan tersebut pemerintah mengajukan tawaran baru untuk menjaga APBN tetap sehat yaitu dengan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menekan tingkat konsumsi BBM bersubsidi yang melonjak di masyarakat. Jika melihat data yang dikeluarkan pemerintah tingkat  konsumsi BBM bersubsidi tiap harinya melebihi kuota 8-10 persen (Joglosemar,20 April 2012) sehingga dikhawatirkan persediaan BBM dalam negeri akan habis pada bulan Oktober jika tidak dibatasi konsumsinya. Sasaran dari pembatasan pemakaian BBM bersubsidi ini adalah pemilik kendaraan roda empat serta mobil dinas di pemerintahan.
pusing pak...?



Namun demikian pembatasan subsidi ini tidaklah semudah yang diwacanakan. Dari beberapa opsi yang ada terkait pembatasan pemakaian BBM bersubsidi semua terlihat rumit. Alih-alih menyelesaikan masalah, pemerintah justru kesulitan menentukan siapa yang boleh/tidak boleh memakai BBM bersubsidi. Pada tahap awal rencananya pembatasan pemakaian BBM bersubsidi ini diterapkan pada mobil dinas di wilayah Jabodetabek dan berikutnya bagi pemilik kendaraan roda empat di masyarakat. Disini pemerintah akan menemui beberapa kendala yang bisa dibilang tidak mudah dalam penerapannya. Kendala pertama adalah pembatasan pemakaian BBM bersubsidi berdasar besarnya CC mobil dengan memasang stiker di kendaraan. Hal ini bisa berjalan apabila ada data yang jelas mengenai keterangan mobil dan data yang valid mengenai jumlah kendaraan roda 4.  Selama ini pembuatan STNK tidak membedakan pemilik mobil antara CC kecil dengan CC yang besar.  Tentu sulit melakukan pembatasan jika data tentang kendaraan saja masih simpang siur apalagi hanya memakai stiker yang rawan sekali untuk dipalsukan. Kendala yang kedua adalah kesiapan dari sektor hilirnya. Apakah infrastruktur dari Pertamina sudah memenuhi syarat ketika kebijakan itu dilaksanakan seperti kesediaan Pompa Pertamax dalam SPBU di seluruh wilayah Indonesia? Padahal kenyataannya tidak semua pompa bensin mempunyai fasilitas pompa Pertamax, seperti diakui sendiri oleh Pertamina. Hal ini dapat menimbulkan kelangkaan BBM yang justru menyulitkan masyarakat untuk menjalankan roda ekonominya alih-alih untuk berhemat. Yang ketiga adalah potensi konflik jika benar kebijakan pembatasan BBM ini dilaksanakan, apakah nanti pengawasan dilakukan oleh BP Migas selaku regulator?  aparat keamanan yang ditugaskan di SPBU atau hanya mengandalkan dari petugas SPBU saja? Jika pilihan yang ketiga yang diambil maka ini akan menjadi beban baru bagi pemilik SPBU karena yang selama ini terjadi mereka kewalahan dalam menangani konsumen ketika terjadi lonjakan konsumsi. Yang terakhir adalah serbuan pompa bensin asing yang mendapat legalisasi untuk bermain di sektor hilir jika Pemerintah tidak mampu mendistribusikan BBM secara tepat. Seperti kita ketahui setelah disahkannya UU Migas No 22 Tahun 2001, ratusan  perusahaan asing seperti Chevron, Exxon, Petronas dan lain-lain siap menancapkan kukunya di bumi pertiwi dengan membuka SPBU-SPBU baru. Jika kemudian terjadi kelangkaan dalam penyediaan BBM oleh Pemerintah dalam hal ini Pertamina, bisa jadi masyarakat malah justru diharuskan membeli BBM dari korporasi asing yang tentu akan merugikan masyarakat karena harga dari BBM di SPBU asing itu mengikuti harga pasar.  Hal ini juga harus diwaspadai oleh Pertamina sebagai perusahaan negara dan Pemerintah sebagai pelindung masyarakat sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Selama ini sebenarnya sudah ada contoh bagus untuk membatasi BBM bersubsidi yaitu membuat SPBU di tempat-tempat khusus seperti di dekat pelabuhan nelayan-nelayan. Jika pemerintah mau sebenarnya bisa saja kedepannya SPBU dibuat di dalam terminal angkutan umum, sehingga pemilik mobil merasa sungkan untuk membeli BBM bersubsidi disitu. Dari sektor pengawasan pun akan lebih mudah karena yang mengawasi selain pemerintah adalah masyarakat sendiri. Tentu kita memahami bahwa yang dilakukan pemerintah untuk membatasi pemakaian BBM bersubsidi untuk melindungi rakyat, namun pertanyaannya rakyat yang mana, jika dalam pelaksanaan tersebut justru menyulitkan masyarakat untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi? Kesiapan infrastruktrur, sosialisasi dan pelatihan bagi para petugas SPBU harus dimatangkan jika memang kebijakan jadi dilaksanakan dan  tidak dibuat untuk jangka pendek saja. Yang berikutnya adalah dasar hukum yang jelas dari pemerintah ketika kebijakan ini benar-benar dilaksanakan. Dasar hukum ini mulai dari kebijakan yang bersifat umum mengenai dasar pembatasan BBM bersubsidi hingga masalah teknis pelaksanaannya di lapangan. Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya menjadi alat bagi masuknya korporasi asing untuk melancarkan expansinya ke dalam negeri. Sehingga pembatasan BBM bersubsidi ini benar-benar ditujukan untuk rakyat baik mereka yang terkena imbasnya maupun tidak.

Ada beberapa program jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah saat ini terkait BBM, beberapa diantaranya adalah mempercepat konversi BBM ke gas dengan melibatkan seluruh sektor yang terkait dengan moda transportasi. Hal ini tidak lepas dari melimpahnya gas bumi kita dan harganya yang relatif lebih murah daripada bensin. Tentu jika ini bisa dijalankan maka akan terjadi penghematan yang besar serta pendapatan dalam negeri akan meningkat karena kita bisa menghentikan impor minyak yang selama ini dianggap beban oleh pemerintah. Alokasi dari penghematan ini dapat dilimpahkan kedalam infrastruktur serta angkutan umum yang layak serta murah untuk digunakan masyarakat. Selama ini keengganan masyarakat menggunakan angkutan umum karena pemerintah tidak berhasil menyediakan angkutan umum yang aman serta nyaman. Program busway sebagai proyek percontohan di Jakarta pun bisa dikatakan tidak begitu berhasil karena kurangnya dukungan pemerintah untuk menjalankan profesionalisme dalam pelayanannya. Program selanjutnya adalah menekan angka korupsi, manipulasi serta pemborosan anggaran di dalam APBN yang mencapai 10 persen (sekitar 120 Triliyun) yang ironisnya jumlahnya justru lebih besar dari subsidi BBM secara keseluruhan.  Jika ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah maka kebingungan setiap ada kenaikan harga minyak dunia tidak akan terjadi. Terakhir namun tidak kalah penting adalah pemerintah melakukan renegoisasi kontrak atau bahkan nasionalisasi bagi perusahaan-perusahaan asing yang saat ini menguasai hampir 80 persen sektor sumber daya alam(terutama migas) di dalam negeri. Jika ini dilakukan niscaya tidak hanya sektor transportasi saja yang dapat disubsidi pemerintah namun juga sektor pendidikan serta kesehatan. Pertanyaannya beranikah pemerintah?

Share:

0 comments