Membaca itu Revolusioner !


Membaca bukanlah hal yang sulit dilakukan. Sejak kecil yang pertama diajarkan oleh orang tua serta sekolah adalah kemampuan membaca serta menulis. Namun yang menyedihkan kegiatan membaca sekarang menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian orang, yang ironisnya menyandang status mahasiswa. Dengan segala tanggung jawab yang diamanahkan pada mahasiswa membeli buku adalah hal yang terakhir dijadikan prioritas bagi mahasiswa sekarang. Mereka lebih suka membelanjakan uangnya untuk membeli handphone merk terbaru daripada membeli buku. Keengganan membaca buku di kalangan mahasiswa ini nampak sejalan dengan realita yang terjadi. Ruang-ruang kampus sepi dari diskusi, dialektika dan debat dengan dosen karena mahasiswa sendiri tidak tahu apa yang ingin mereka bicarakan. Membaca buku hanya jadi kegiatan menghafal ketika akan diujikan oleh dosen dan literatur yang tidak berhubungan dengan kuliah dijauhi mahasiswa karena dianggap membuang waktu.
Menjadi wajar ketika mahasiswa saat ini cenderung manja, tak punya idealisme serta hanya menjadi sekrup kapitalis (meminjam istilah Marx) yang tunduk kepada kuasa modal dan korporasi setelah lulus. ini terjadi karena minimnya pengetahuan yang tidak didapatnya saat kuliah. Wajar pula politisi masa depan (yang kebanyakan adalah saat ini masih mahasiswa) akan mengulangi apa yang terjadi sekarang, hanya banyak bicara tanpa modal pengetahuan yang cukup. Akibatnya hanya menghasilkan janji-janji yang jarang terealisasi serta tidak punya semangat kemandirian karena mereka hanya bisa jadi intelektual tradisional yang melanggengkan sistem kapitalisme dalam terminologi Gramsci.
Teralienasinya mahasiswa dari buku juga diperparah dengan minimnya buku yang beredar di negara ini. Merujuk pada penelitian yang dilakukan Ikapi bahwa buku yang terbit di Indonesia setiap tahunnya hanya sekitar 7.000 buku saja. Jauh jika dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang setiap tahunnya dapat menerbitkan 15.000 buku atau Vietnam yang dikenal dengan negara komunis dapat menerbitkan 45.000 buku tiap tahunnya. Maka jumlah buku di negara ini terhitung rendah dibandingkan jumlah penduduknya. Mengacu pula kepada hasil temuan UNDP, posisi minat baca penduduk Indonesia berada di peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Ironis karena kita tidak lebih baik dari negara yang notabene baru saja merdeka.
Tentu ada yang salah dengan generasi saat ini. Di tengah kemudahan mengakses toko buku baik nyata maupun maya dan maraknya buku yang ada di internet (ebook) secara gratis tidak menjadikan mahasiswa semakin gemar  membaca buku. Mahasiswa justru terjebak dengan keasikan dunia maya yang menjadikan mereka menangkap informasi secara sepotong-sepotong dan dangkal. Tidak ada lagi pembahasan permasalahan serta solusi yang tuntas karena mereka hanya membeo apa yang ditampilkan media baik konvensional maupun sosial tanpa pegangan teori yang jelas (lagi-lagi karena kurang membaca buku). Jangan harap bangsa ini akan berubah menjadi lebih baik jika generasi muda ini tidak mau merubah kebiasaannya untuk kembali mencintai buku.
Generasi muda saat ini dan mahasiswa khususnya perlu kembali melihat sejarah para pemimpin bangsa yang pernah ada, Tan Malaka misalnya dia menulis buku pertamanya tentang bentuk negara republik pada usia 23 tahun karena dia rajin membaca karya-karya Marxis yang saat itu masih terbatas peredarannya. Kita juga bisa melihat sejarah proklamator kita Bung Karno, dia mengatakan dalam otobiografinya “Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputusasaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira. Seluruh waktu kupergunakan untuk membaca.”  Sang pasangan DwiTunggal, Bung Hatta yang dikenal sebagai pecinta buku juga tak kalah hebat. Bahkan istrinya sendiri sampai bilang bahwa istri pertama Bung Hatta adalah buku saking gemarnya ia membaca. Tentu tak ada kerugian untuk membaca buku dimulai dari sekarang untuk membawa perubahan bagi bangsa ini kedepannya, seperti pesan Lenin “ tak ada praktek revolusioner tanpa teori yang revolusioner.” Dan ini dimulai dari membaca buku yang revolusioner !

Share:

0 comments