Kapitalisme dan Sesat Pikir Gerakan Lingkungan
Melihat fenomena makin maraknya komunitas-komunitas yang menyatakan
dirinya sebagai pecinta lingkungan yang biasanya didominasi anak-anak muda
serta gencarnya himbauan untuk melakukan gerakan cinta lingkungan dari
Pemerintah dan Korporasi, saya jadi tertarik untuk menulis kegelisahan saya. Gerakan
mencintai lingkungan tersebut di satu sisi memang harus didukung dan merupakan
perbuatan mulia namun gerakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman
bahwa gerakan yang berasal dari kesadaran individu tidak akan bisa menyelesaikan
masalah kerusakan lingkungan karena sesungguhnya kerusakan lingkungan yang
terjadi lebih didominasi karena sistem kapitalisme yang saat ini dilakukan
oleh korporasi multinasional yang beroperasi di berbagai Negara. Tulisan ini
untuk membedah siapa sebenarnya penyebab kerusakan lingkungan, mengkritisi CSR serta apa solusi untuk dunia yang lebih baik
Kerusakan
lingkungan salah siapa?
Jika melihat sejarahnya terjadinya perusakan lingkungan tidak bisa
dilepaskan dari keberadaaan sistem kapitalisme[i]
yang lahir pasca revolusi industri. Sejak awal kemunculannya di Inggris pada
abad 19 sistem kapitalisme membawa dua logika dasar yaitu memperlakukan alam
sebagai komoditas yang bisa dijual sehingga bisa terus dieksploitasi dan yang
kedua adalah sistem kompetisi antar pemilik modal yang mengharuskan produksi
dilakukan sebanyak mungkin tanpa menghiraukan
kehancuran lingkungan itu sendiri. Awal pengabaian terhadap isu lingkungan
ini ditambah pula dengan penemuan bahan bakar berbasis fosil sebagai sumber
energi primer yang mengharuskan kapitalis merusak lingkungan (terutama hutan
dan laut) untuk mengambil manfaatnya demi akumulasi laba. Daerah sekitar
Tembagapura milik Freeport, kerusakan hutan di Brazil oleh Chevron dan
hancurnya konservasi alam di Guatemala karena Exxon Mobil bisa menjadi contoh bagaimana korporasi telah merusak
keseimbangan lingkungan
Dalam tiga dasawarsa terakhir, kerusakan lingkungan telah menjadi problem
yang nyata di dunia. Pemanasan global,
tidak menentunya iklim di berbagai belahan dunia serta mencairnya es di kutub
utara tidak lagi menjadi karangan fiksi belaka. Dikeluarkannya berbagai
penelitian internasional mengenai kerusakan lingkungan adalah gambaran betapa kerusakan
lingkungan saat ini telah menjadi perhatian serius. Meski mengalami kemajuan
dibidang inovasi dan teknologi untuk memperbarui alam namun kerusakan
lingkungan tidak pernah terselesaikan karena sifat dasar segelintir pemilik modal
yang ingin terus mengakumulasi modalnya. Sifat eksploitatif dan destruktif ini
terus menerus mengancam keberadaan alam dan lingkungan yang hidup berdampingan
dengan manusia. Apalagi sejak diterapkannya neoliberalisme[ii]
yang membuat korporasi semakin menggiatkan
produksinya melintasi batas hukum, negara serta masyarakat. Tidak bisa tidak
perdagangan bebas menjadi kata sakti untuk melakukan segala transaksi yang
dilakukan korporasi multinasional di era globalisasi ini. Setiap negara
diwajibkan untuk taat terhadap sistem yang berlaku agar bisa “bertahan” di
tengah dunia, dan aturan yang dibuat oleh negara bisa dilangkahi asalkan telah
disepakati oleh badan badan dagang internasional seperti World Trade
Organization (WTO) atau Bank Dunia. Permasalahannya adalah forum forum
tersebut tidak hanya berisi perwakilan
Negara maju & negara berkembang namun pengambilan
keputusannya justru didominasi oleh pemilik korporasi. Dan tentu saja keputusan itu kerap mengabaikan
isu-isu lingkungan dimana yang banyak dirugikan adalah negara-negara berkembang.
Indonesia sendiri dinilai oleh Negara-negara maju sebagai Negara yang tidak
bertanggung-jawab terhadap kerusakan lingkungan. Indonesia sebagai Negara
dengan keanekaragaman hayati dan memiliki cadangan O2 terbesar saat ini mengalami kerusakan lingkungan cukup parah
dimana dari 180 juta hektar hutan Indonesia sekitar 21 persennya (34 juta
hektar) kini telah musnah. Kerusakan ini disebabkan paling banyak karena adanya perubahan fungsi
hutan menjadi industri kayu dan perkebunan sawit. Ironisnya meski
menyalahkan Indonesia sebagai negara yang bertanggung jawab dengan kerusakan
hutan tercepat namun sebenarnya pemilik industri-industri tersebut adalah
korporasi multinasional yang beroperasi di Indonesia
CSR solusi tepatkah?
Korporasi sendiri bukannya tidak menaruh perhatian terhadap kerusakan
lingkungan. Akhir-akhir ini mulai muncul
slogan-slogan perbaikan lingkungan sebagai tanggung jawab korporasi terhadap
keberlangsungan alam. Program yang sering disebut CSR (Corporate Social
Responsibility) ini diklaim ingin memperbaiki wajah sistem kapitalisme sehingga
sering disebut gerakan kapitalisme dengan hati. Program ini sering juga disebut
revolusi hijau meskipun tidak sehijau yang diperkirakan. Bila ingin meninjau lebih lanjut program CSR tersebut seperti
yang dikatakan oleh James Petras ahli ekonomi Amerika Serikat bahwa sebenarnya CSR
tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh globalisasi ekonomi[iii].
Dalam penelitiannya di berbagai Negara Amerika Latin di tahun 1990an sejak
diberlakukannya sistem ekonomi Neoliberalisme ternyata kerusakan lingkungan
yang terjadi justru semakin parah. Apalagi
ternyata korporasi-korporasi yang telah melaksanakan program CSR mendapat potongan pajak
dari pemerintah. Yang menarik jumlah potongan pajak Ini ditengarai lebih besar
daripada biaya CSR yang dikeluarkan. Artinya kegiatan CSR tersebut tidak
banyak memperbaiki kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh korporasi apalagi
menyelesaikan masalahnya. Dengan logika seperti ini artinya masyarakat yang
terkena dampak dari kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi
sebenarnya memperbaiki lingkungan dengan uang mereka sendiri, tidak dari kebaikan hati perusahaan sebagaimana digemborkan selama ini. Dengan slogan Think Global Act
Local masyarakat diberi pemahaman bahwa kerusakan lingkungan terjadi karena
perbuatan individu-individu, sebenarnya untuk menutupi kenyataan bahwa yang
paling banyak melakukan kerusakan terhadap lingkungan adalah
korporasi-korporasi tersebut. Tidak heran komunitas-komunitas anak muda yang
mengajak memperbaiki lingkungan disambut baik oleh korporasi dan diberi
sokongan dana karena semakin tersamarkan kejahatannya[iv].
Akibatnya gerakan lingkungan hanya berkonsentrasi di teritorial dan momen
tertentu saja, melupakan bahwa di belahan dunia lain terjadi kerusakan yang sama
dan dilakukan oleh korporasi yang sama pula.
Jika kita hadapkan dengan kasus
yang terjadi di Indonesia, penguasaan korporasi yang exploitatif dan
destruktif telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah dibanding
ketika pengelolaan hutan masih dipegang oleh masyarakat dengan hukum adatnya. Meski
ada UU Agraria yang ditetapkan pada era Orde Lama banyak aturannya memihak
kepada masyarakat namun sejak era orde baru UU Agraria ini kehilangan tajinya
karena bertumpang tindih dengan UU Penanaman Modal Asing serta UU Kehutanan
yang lebih berpihak kepada industri serta investasi asing. Pasca reformasi
lahirnya UU Lingkungan hidup serta UU Perusahaan yang didalamnya mengatur
tentang CSR diharapkan dapat menyelesaikan masalah pun (meski sudah dibantah
diatas) belum sepenuhnya dapat dijalankan karena minimnya pengawasan dari
pemerintah dalam pelaksanaannya. Maka jika sekarang marak terjadi penolakan
atas industri pertambangan oleh masyarakat adat harus dilihat dari konteks ini.
Bahwa keberadaan korporasi hanya akan menguntungkan segelintir orang pemilik
korporasi dan mengorbankan lingkungan untuk generasi berikutnya sehingga harus
ditolak.
Mengembalikan fungsi Negara&menghapus
kapitalisme
Untuk menutup tulisan ini kita harus melihat bahwa kerusakan lingkungan yang
sekarang terjadi sejatinya ada karena sistem kapitalisme. Bahwa model
perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat untuk merubah sistem ekonomi
kapitalisme harulah menyeluruh dan tidak bisa dilihat sebagai masalah yang
parsial. Setiap gerakan perlawanan di dunia terhadap kapitalisme mestinya menempatkan
sistem ekonomi alternatif (sosialisme/islam?[v])
dimana alam diposisikan sebagai tempat dimana manusia tinggal yang harus dijaga
kelangsungannya untuk kesejahteraan bersama bukan karena kepentingan segelintir
orang. Peran Negara juga menjadi penting untuk mengatur keberadaan korporasi. Negara
modern sebagai perwakilan yang sah masyarakat mesti berpihak kepada kepentingan
mereka bukan menjadi corong korporasi. Sebagaimana keberadaan korporasi yang pada
mulanya dilahirkan oleh Negara maka
sanksi dan hukumannya yang bisa menjatuhkan adalah Negara itu sendiri[vi].
Namun solusi di satu Negara saja tidak cukup karena permasalahan lingkungan
menyangkut juga dengan kondisi alam dan masyarakat di Negara lain maka penghapusan
sistem kapitalisme adalah suatu kewajiban bagi seluruh masyarakat dunia demi
keberlanjutan umat manusia dan lingkungan ke depannya.
[i] Kapitalisme
dipelopori oleh Adam Smith dan David Ricardo yang berpendapat individu haruslah
dibebaskan dalam segala hal dari intervensi Negara termasuk kebebasan dalam
melakukan kegiatan ekonomi. Hukum ekonomi akan berjalan sebagaimana hukum alam
dimana akan ada invisible hand yang akan mengatur keseimbangannya. Tesis ini
dibantah oleh Karl Marx bahwa sesungguhnya keseimbangan itu tidak akan tercapai
karena sejak lahir sudah ada individu yang memiliki kekayaan yang lebih dibanding
yang lain, akibatnya sistem ekonomi kapitalisme hanya akan melahirkan hukum
kompetisi antar individu dan konflik yang tidak seimbang antara pemilik modal dan
di sisi lain dengan kaum proletar.
[ii] Neoliberalisme
adalah kelanjutan dari kapitalisme dimana korporasi diperlakukan sebagaimana
individu. Artinya korporasi harus dibebaskan dari aturan yang ketat dari
pemerintah, privatisasi atas sektor-sektor publik milik pemerintah, deregulasi
semua aturan yang menghalangi perdagangan bebas sehingga Negara tidak bisa
mencampuri urusan perdagangan (lihat Chris Harman-Anti Kapitalisme)
[iii] James
Petras Dalam bukunya bersama Henry Veltmeyer Imperialism in 21st
century menulis bahwa problemnya ada di kapitalisme yang diwakili oleh
korporasi multinasional. Dia meneruskan teori Lenin dalam bukunya What is
Imperialism? Bahwa imperialism adalah kapitalisme dalam tahapan tertinggi, di
abad ini Petras menyebutkan bahwa globalisasi adalah bahasa lain dari imperialisme
[iv] Sudah
jamak kita temui program-program CSR yang dilakukan oleh korporasi multinasional
seperti Danone, Chevron, Exxon, Freeport dan banyak lagi yang semuanya seakan
menghapus dosa korporasi dalam melakukan kerusakan lingkungan. Perubahan fungsi
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di daerah hutan Kalimantan serta Sumatera
adalah contoh nyata bagaimana kerusakan yang timbul karena korporasi. Sedangkan
Air adalah contoh lain bagaimana barang yang seharusnya milik publik dan tidak
dapat diperjualbelikan bisa dimiliki oleh korporasi dan dipoles sedemikian rupa
sehingga seolah mereka yang menemukannya, bukan ada sejak dahulu. Ironisnya Negara
sebagai perwakilan masyarakat justru menutup mata dengan kenyataan ini dan
mengamini keberadaan korporasi
[v] Sosialisme
adalah sistem ekonomi alternatif yang merupakan antithesis kapitalisme. Sosialisme
ini bisa beragam modelnya dari yang paling ekstrim yaitu komunisme hingga ideologi
anarkisme yang tidak percaya dengan segala bentuk otoritas seperti keberadaan Negara.
Sedangkan sistem ekonomi Islam berasal dari penafsiran teks-teks kitab suci
agama islam untuk menjawab keberadaan kapitalisme. Islam sebagai ideologi
ekonomi lahir dimana Negara-negara islam (yang kebanyakan Negara berkembang)
menjadi korban kebiadaban kapitalisme di abad 20an. Ideologi islam pun menemui
berbagai macam bentuk seperti model kerajaan di Saudi Arabia hingga gabungan
model antara demokrasi dan pemerintahan ulama di Iran.
[vi] Joel
Balkan dalam bukunya The Corporation menguraikan sejarah bagaimana korporasi
terbentuk oleh Negara-negara industri seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Keberadaan korporasi ini disebutnya sebagai Monster karena tidak dapat dihukum
jika melakukan kesalahan dalam operasinya. Dengan melihat kondisi seperti ini
maka hanya Negara yang dapat membubarkan keberadaan korporasi.
Tags:
advokasi
Aksi
aktivis
Anti globalisasi
Demonstrasi
globalisasi
HAM
hukum
indonesia
Kapitalisme
komunis
korporasi
lingkungan
Marxisme
Neoliberalisme
perlindungan lingkungan
0 comments